Karya: Alfiansyah Bayu Wardhana*
kataberita.id, kata sastra — Sebagai seorang anak kampung, mamak selalu ingin anaknya itu bisa mengaji. Setelah bisa mengaji, akan didaftarkan menjadi seorang muadzin. Mamak ingin mendengarkan lantunan suara anaknya dari kejauhan tiap hari. Tanpa takut ia pergi ke mana. Amir terus saja didorong oleh mamaknya. Sejak kecil saat-saat pulang sekolah, mamaknya selalu repot membereskan debu di sela-sela ketiak Amir. Mengelap hingga kinclong kembali dan di isi kembali dayanya seperti sebuah telepon genggam, agar Amir bisa berangkat mengaji.
“Setelah pulang sekolah langsung tidur. Nanti waktunya mengaji mamak bangunin.”
Amir tidak menolak. Sebab, hanya ada mamaknya di sini yang menjaga. Bapaknya entah sudah ke mana. Amir selalu menurut, sekonyong-konyong ia ingin bermain dan bernafsu bersama teman-teman. Ia lebih suka melihat mamaknya.
“Mak, kalau Amir sudah besar. Amir boleh bantu-bantu, mamak?”
“Boleh, kok. Asal saat ini belajar yang pintar. Mengaji yang rajin. Jangan lupa untuk jadi muadzin.”
Amir dan mamaknya saling pandang dengan senyuman. Mereka bagai dua sayap yang selalu ingin terbang bersama, melihat keindahan dunia lainnya tanpa takut dipandang rendah orang lain.
Setelah lamanya kesibukan mereka masing-masing. Dua sosok manusia tersebut akhirnya sudah selesai dengan urusannya. Mereka saling bertanya, lalu ke luar. Amir menuju tempat mengajinya. Mamak menjemput rejeki di lapak dagangannya.
“Kamu hati-hati, nak. Yang pinter.”
Mereka berpisah. Amir hilang di makan pepohonan yang lebih tinggi darinya. Mamaknya tetap berdiri melihat anaknya. Setelah sekian detik Amir membuat dirinya terhipnotis. Lalu dijinjingnya kembali bawaannya menuju lapak.
Dalam perjalanannya, mamak agak lama dalam melangkah. Ia perlu bertugas menyeimbangkan bawaannya agar dapat sampai dalam keadaan yang terbaik. Tidak jarang ada saja yang menegurnya, bahkan menggodanya. Saat sapaan itu mendekat kepadanya, ia balas dengan ramah. Sedangkan saat godaan menungguinya, ia bahkan tidak hiraukan lagi. Ia takut, orang lebih seenaknya jika ia ramah. Maka ia pergi saja tanpa perlu menghiraukannya.
Lapak sederhana berbentuk persegi panjang itu menetap setia menunggui dirinya. Beratap seng yang saat siang hari panasnya bisa memusingkan diri. Saat hujan, bunyinya seperti tembakan yang dilontarkan berkali-kali dan itu sangat dingin. Setiap sisi lapaknya senada berwarna putih. Di depannya bertuliskan, kue tradisional mamak Amir.
Amir sudah sampai di tempat mengajinya. Secara perlahan, Amir masih malu-malu untuk masuk. Ia baru pindah mengaji di sana. Sebelumnya berada di desa sebelah. Walaupun di desa sebelah, rumahnya lebih dekat ke sana. Karena rumah Amir persis sekali diperbatasan.