Oleh: Teguh Santosa
kataberita.id — Kemarin saya menyempatkan diri hadir di sebuah diskusi mengenai kompetensi dan popularitas menuju 2024. Diskusi diselenggarakan Relawan Muda Airlangga (RMA) yang dibidani sahabat saya Khalid Zabidi.
Saya sampaikan beberapa hal. Pertama, bahwa persoalan atau pertanyaan mengenai kompetensi baru bisa muncul apabila kita sudah mampu mendefiniskan tantangan. Adapun tantangan adalah perbandingan antara kondisi yang ada dengan cita-cita.
Kalau tantangan sudah dapat didefiniskan, barulah kita bisa membicarakan tentang kompetensi yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan, untuk meraih cita-cita.
Di sisi lain, cara kita melihat kondisi yang ada dan cara kita menyusun cita-cita bisa berbeda-beda. Sehingga, apa yang kita pahami sebagai tantangan pun mungkin sekali beraneka rupa.
Seterusnya, kompetensi yang menurut kita dibutuhkan untuk mencapai cita-cita dan harapan juga mungkin sekali tidak sama.
Kedua, menuju kontestasi politik 2024 ruang dialog terbuka lebar. Tokoh-tokoh politik, partai-partai politik berkomunikasi dengan leluasa setelah meruntuhkan sekat-sekat yang ada setidaknya dalam dua kali pilpres terakhir.
Sejatinya itu tidak hanya terjadi di kalangan elit. Tapi juga di akar rumput, termasuk di kalangan pemuda, seperti Relawan Muda Airlangga (RMA) yang kemarin mengundang saya.
Ketiga, ini kesempatan emas bagi mereka untuk mempertajam pisau analisa dalam membandingkan antara situasi kini dan cita-cita, atau dengan kata lain dalam mendefinisikan tantangan.
Keempat, saya juga mengajak kita semua tidak menggunakan cara pandang linear dalam meninjau apa yang kita pandang sebagai berbagai kemajuan yang telah kita catatkan setidaknya sejak krisis ekonomi-politik 1997/98.
Kita perlu menggunakan pendekatan komparatif, membandingkan pencapaian-pencapaian kita dengan pencapaian-pencapaian bangsa-negara lain di kawasan dan dunia. Membandingkan ini penting, agar kita memperoleh gambaran yang relatif lebih objektif mengenai posisi kita di percaturan politik-ekonomi dunia.
Atau dengan kata lain, agar kita tidak syur sendiri.
Kelima, menurut saya idealnya kompetensi berbanding lurus dengan popularitas dan selanjutnya berbanding lurus dengan elektabilitas (kemungkinan seseorang terpilih).
Tapi rasanya, seringkali belakangan ini kompetensi dan popularitas jalan sendiri-sendiri.
Kondisi ini juga antara lain yang mendorong saya untuk mengapresiasi upaya RMA melakukan pendidikan politik seperti yang sudah saya sebutkan di atas tadi.
Poin keenam dan ketujuh nanti saja.
Selamat berjuang kawan-kawan RMA.