kataberita.id — Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi investasi Amin AK mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan kebijakan izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau beralkohol dari skala besar hingga kecil di Indonesia.
Izin investasi miras itu sebelumnya tertuang di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Ya mendesak agar Presiden Jokowi mencoret kemudahan izin investasi miras dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tersebut. Juga agar Badan Koordinasi Penanaman Modal mencoret industri miras dari daftar investasi positif yang dikeluarkannya,” kata Amin kepada CNNIndonesia.com, Minggu (28/2).
Amin menilai berkembangnya industri miras hingga ke daerah-daerah, baik industri kecil maupun besar bakal berpotensi menjadi ancaman bagi bangsa, terutama generasi masa depan.
Amin mengungkap sejumlah fakta perihal dampak negatif alkohol bagi kehidupan sosial, ekonomi, maupun kesehatan manusia. Ia mengatakan paling tidak 58 persen kriminalitas di Indonesia disebabkan konsumsi minuman keras.
Politikus dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga memaparkan data dari Mabes Polri yang didapatnya. Ia menjelaskan sebanyak 225 kasus tindak pidana yang terjadi karena dipicu minuman beralkohol yang dikonsumsi pelaku di Indonesia.
“Ini logika yang sangat fatal, memanfaatkan kemudahan investasi dalam UU Cipta Kerja dengan melonggarkan industri miras hingga ke daerah. Tidak dilonggarkan saja, pemerintah tidak mampu kok mengontrol peredaran miras, apalagi jika industrinya makin marak?,” kata dia.
Selanjutnya, Amin pun menilai aturan tersebut memperlihatkan wajah pemerintah yang lebih mengedepankan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat. Menurutnya, pemerintah sangat lucu kala membuat peraturan yang bertentangan dengan tugas dan fungsinya tersebut.
Ia meminta Presiden Jokowi untuk tidak hanya memikirkan faktor ekonomi, namun ternyata abai dengan keselamatan masa depan bangsa dalam proses kebijakannya.