Angin tiba-tiba berembus menerbangkan benda-benda ringan, tidak terkecuali pasir pantai hitam yang terbang ke wajahku, dan membuat mataku kelilipan. Dengan serampangan kugosok mataku. “Duuuh, Cantik. Kelilipan, sini saya tiupkan,” kata salah seorang buruh muda.
“Heee…hancur barang-barang saya sama buruh-buruh ini!” teriak seorang perempuan paruh baya. “Asal-asalan sekali cara diturunkan. Kalau sudah begini mana ada yang mau beli!” umpatnya sambil memungut sebagian barangnya yang keluar dari plastik pembungkus, dan merapikan sawi hijau serta kangkung di dalam bakul. Seorang buruh yang mengenakan baju partai berwarna merah bergambar kerbau dan bercelana futsal basah dan kumal berkata, “Kalau pas gini teriak-teriak, nanti kalau pas enak-enak makan bakso, ndak ada nawar-nawarin.”
“Kalau terus-terus begini, saya pindah saja berangkat dari Teluk Kodek,” gerutu perempuan itu.
“Pindah saja sana!” seru seorang buruh lain yang memakai kaos partai berwarna kuning dan celana boxer.
Seorang buruh lain yang mengalungkan tas kecil waterproof di lehernya berkata padaku, “Hei, Mbak. Sekarang saja dinaikkan barangnya ke boat. Sebentar lagi boat Berlian Jaya berangkat.”
“Mana kaptennya?”
“Itu, yang pakai topi.”
“Yang kecil itu?”
“Iya.”
Lelaki yang ditunjuk tadi menerima uang ongkos dariku. Sepertinya dia bukan kapten, melainkan anak pemilik boat, yang takut uang ceperan masuk ke kantong kapten dan kernet. Aku juga memberi buruh-buruh itu sejumlah uang yang nominalnya hanya selisih lima ribu dari yang kuberikan pada anak pemilik boat. “Tambah, Mbak,” protes mereka.
“Itu sudah termasuk tambah,” jawabku datar.
Boat pun berangkat. Buruh-buruh itu kelihatan pasrah. Kernet mengangkat tali jangkar, bendera merah putih berkibar di atas atap seakan melambai, mengucap sampai jumpa pada mercusuar putih untuk bertemu lagi di senja nanti.
Para buruh lalu asyik membagi uang mereka. “Kenapa saya cuma segini?” kata seorang yang berbadan gempal,
“Semuanya saya bagi rata. Nih, nih. Lihat. Saya juga dapat segini,” jawab rekannya sambil menarik-narik kedua kantong celananya. Seakan menyadari kehadiranku, sambil tetap bercakap mereka bergerak menjauh ke tempat mereka biasa bergerombol.
Karena pelabuhan Bangsal sudah agak sepi setelah boat datang dan pergi, para buruh memilih bermain domino. Sebenarnya hanya sedikit yang bermain, kebanyakan lebih suka menonton, sambil saling mengolok-olok, meneriaki, dan bergosip tentang janda pedagang bakso. Setelah menelepon karyawanku yang akan menjemput barang di pelabuhan Gili Trawangan, aku membuka pintu mobil, mengangkat sedikit dasterku, dan masuk ke dalamnya.
Gang Metro-Gunung Sari, 21-25 Mei 2020