Cerpen: Buruh-Buruh Bangsal

oleh
Bulan Nurguna
Bulan Nurguna

Buruh-buruh di pelabuhan memang suka memaksa, tetapi sekarang bertransaksi dengan mereka sudah jauh lebih baik. Dahulu, puluhan tahun lalu, mereka sering memaksa para tamu membeli obat nyamuk dengan harga selangit. Mereka mengatakan di Gili banyak nyamuk malaria yang mematikan, dan untuk mengatasinya orang harus selalu membawa obat nyamuk. Memang, ada wabah malaria di tiga gili, tetapi itu zaman dulu. Sesekali memang datang musim nyamuk, bersamaan dengan musim hujan, tetapi itu tidak berarti orang harus membeli obat nyamuk di pelabuhan Bangsal dengan harga selangit. Bila orang-orang miskin saja bisa punya kekuatan untuk menipu, bagaimana dengan orang kaya?

Tiba-tiba ada suara lelaki menyapaku dengan aksen Bima, “Halo, Mbak Pasky, ya.”

Baca Juga :   Cerpen: Terlelap dalam Sandaran

“Iya, ini Mas yang biasa urus kalau ada ATM tertelan kan?” Memang ada ATM di lokasi usaha penginapanku, dan sesekali ada tamu yang meminta tolong pada manager untuk menelepon petugas ATM.

“Iya, Mbak. Saya mau tanya, kalau bawa barang segini, biasanya ongkos buruh berapa?” Kulihat barang-barangnya: satu kardus ukuran sedang bekas kemasan air mineral, satu karung  beras ukuran 25 kg yang hanya berisi setengahnya, dan dua tas ukuran sedang.

“Saya sih biasa kasih sepuluh ribu. Baru pertama kali bawa barang?”

“Iya, Mbak. Biasanya tidak pernah. Ini karena baru pulang dari kampung. Istri saya sekarang tinggal sama saya di Gili. Sekalian juga saya bawa beras dan bawang merah hasil panen orang tua.”

Baca Juga :   Cerpen: Kriminal

Dari pintu pelabuhan Bangsal terlihat truk bir dengan seorang sopir dan salesman. Debu halus beterbangan ketika Vincent, salesman itu, baru saja membuka pintu truk. Dalam sekali gerak dia melompat keluar, dengan tas selempang yang segera dirapikannya dan sebuah buku di tangan kanan. Si sopir, Pak Wayan, membuka bagian belakang truk, dan Vincent menyuruh para buruh mengeluarkan sejumlah kardus.

“Bagaimana bisnis, Pak? Lancar?” tanyaku.

“Kalau bir ya konstan, Mbak. Kok berhenti ambil bir langsung di agen?”

“Sudah ada yang bawakan langsung dari Teluk Dalem, lebih ringkas dan aman. Kalau lewat Bangsal, kebanyakan bayar buruhnya, saya tidak dapat untung. Ini pesanan siapa?.”

“Pesanan Bu Jidah.”

Baca Juga :   Cerpen: Membuat Anak Bersama Marni

“Bu Jidah yang di pelabuhan atau yang di dalam kampung?”

“Jidah Mart, yang di pelabuhan.”

“Oh, Hajah Jidah.”

“Iya. Tidak dapat untung bagaimana, Mbak? Masak bayar buruh saja bisa tidak dapat untung? Ini Bu Jidah nambah terus pembeliannya. Kemarin malah saya baru antarkan kulkas dan paket gelas, juga baju kaos untuk karyawannya.”

“Kalau dia sih enak, Pak. Cuma bayar naik-turun buruh. Kalau saya, kan mesti bayar cikar lagi untuk ke utara, karena tempat saya bukan di pelabuhan. Belum lagi urusan turun dari cikar, kasihan karyawan saya. Kalau lewat Teluk Dalem, semua sudah include, dihitung ongkos per-barang, jauh lebih murah.”