*Oleh: Bulan Nurguna
Buruh-buruh di pelabuhan Bangsal suka memanggilku dengan nama-nama yang bukan namaku, misalnya Cinta, Lola, Cantik, Melati, Bunga, atau lain-lain. Meskipun, mereka sebenarnya tahu namaku, sedangkan aku tak tahu satupun nama mereka.
“Eh, Lola, mau sekalian ke Gili?” tanya seorang buruh.
“Ndak, hanya mengantar barang.”
Kata yang lainnya, “Kenapa dikunci mobilnya? Buka!”
“Ndak. Nanti saja.” Aku tidak mau barangku ditaruh di tempat yang panas, karena isinya barang-barang frozen: mozarella, kentang, sosis, daging cincang, ayam cincang, dan yogurt. Lagi pula, boat baru saja berangkat, yang artinya boat berikutnya belum akan berangkat. Aku lebih suka barangku langsung dinaikkan dari mobil ke boat, karena para buruh tidak perlu dua kali kerja, yang artinya aku punya alasan untuk tidak membayar lebih, membayar yang tidak seharusnya dibayar. Mobil juga kuparkir di posisi paling dekat dengan bibir pantai, agar memperpendek jarak tempuh buruh.
“Melati, minta dong uangnya untuk beli kopi,” ujar buruh lain.
“Ndak ada uang,” kataku datar. Kadang-kadang kuberikan mereka tambahan uang, tetapi khusus untuk buruh yang mengangkat barang-barangku, bukan untuk mereka yang meminta begitu saja. Ini kulakukan agar mereka tidak terbiasa meminta, dan tentu saja terutama agar aku tidak terbiasa memberi tanpa alasan.
Sembari menunggu, aku duduk-duduk di bawah pohon sambil memperhatikan boat yang baru saja datang dari Gili Trawangan. Beberapa buruh naik sebelum tali diikatkan ke moring boy, merangsek masuk ke dalam boat. Buruh-buruh yang pertama mencapai bagian dalam boat mengambil koper-koper besar dan keril milik tetamu. Sementara buruh-buruh yang belakangan masuk mengambil tumpukan kardus. Seorang buruh hendak mengambil sepeda untuk diangkut, tetapi pemilik sepeda buru-buru melarang, karena merasa masih bisa mengangkutnya sendiri.
Setelah meletakkan keril di pinggir pantai, seorang buruh meminta bayaran pada bule perempuan pemilik keril. “Saya tidak pernah meminta untuk dibawakan tas ini,” kata bule itu dalam Bahasa Inggris dengan aksen British. Buruh itu tidak membalas ucapan si bule, karena memang tidak mengerti akan membalas apa, tetapi dia bisa melihat dari raut wajah si bule, bahwa sebenarnya ia tidak berkenan membayar.
“Tweny. Twenty,” kata si buruh sambil menggerakkan seluruh jarinya -kecuali jempol- bersamaan ke depan dan ke belakang. Dengan terpaksa si bule mengeluarkan uang dari dalam keril yang lebih kecil yang masih dibawanya. ”Again. Ten, Ten,” kata buruh itu lagi, ketika ia hanya menerima sepuluh ribu. “No, no, no,” bantah si bule sambil mengangkat kerilnya dan menaruhnya di pundak. Ia berjalan dengan dua keril, di depan dan di belakang tubuhnya.