kataberita.id — Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan mempertanyakan kebijakan Pemerintah yang dituangkan dalam Perpres Nomor 81 Tahun 2020. Pasalnya, dalam Perpres tersebut mengatur jajaran direksi Program Kartu Pra Kerja yang gemuk dengan gaji yang selangit di tengah kondisi keuangan negara yang sedang terganggu akibat Pandemi Covid-19.
Kartu Pra Kerja hanyalah salah satu program yang didesain layaknya bantuan sosial lainnya. “Program ini tidak memerlukan direksi baru yang berpotensi menggemukkan birokrasi di Indonesia.”, ungkap Syarief Hasan
Ia pun berpandangan bahwa program kartu Pra Kerja harusnya bisa dibawahi atau dibidangi oleh Kementerian Sosial atau Kementerian Tenaga Kerja. Sebab, tugas dan tanggungjawabnya saling beririsan dengan tujuan diadakannya Kartu Pra Kerja. “Pembentukan direksi baru untuk program sekelas bantuan sosial lainnya tidak sejalan dengan janji Pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi.”, tegas Syarief Hasan.
Hak keuangan dan fasilitas bagi direksi Program Kartu Pra Kerja pun tak main-main. Khusus direktur eksekutif, hak keuangannya sebesar Rp.77,5 juta perbulan. Lima direktur lainnya juga diatur dalam Perpres tersebut. Direktur Operasi seebsar Rp.62 juta, Direktur Teknologi Rp.58 juta, Direktur Kemitraan dan Pengembangan sebesar Rp.54,25 juta. Direktur Pemantauan dan Evaluasi sebesar Rp.47 juta. serta Direktur Hukum, Umum dan Keuangan sebesar Rp 47 juta, sebagaimana Pasal 2 ayat 2 Perpres 81/2020.
Hak keuangan ini adalah penghasilan bersih yang diterima (take home pay). Hak keuangan inipun belum termasuk fasilitas perjalanan dinas dan jaminan sosial bagi jajaran direksi. Adapun fasilitas perjalanan dinas dan jaminan sosial disetarakan dengan fasilitas pejabat eseleon I dan II. “Bantuan untuk masyarakat belum terealisasi sepenuhnya, namun Pemerintah malah sudah menggelontorkan dana besar untuk jajaran direksi program Kartu Pra Kerja. Pemerintah berpihak kepada siapa?”, keluh Syarief.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini menilai angka besar tersebut sangat tidak efisien untuk program sekelas bantuan sosial lainnya. “Hak keuangan itu diambil sepenuhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga akan semakin memberatkan keuangan negara.”, tegas Syarief Hasan.
Ia pun mengaku heran dengan langkah Pemerintah yang cenderung inkonsisten. Sebab, beberapa waktu yang lalu, Pemerintah membubarkan 18 lembaga karena dianggap membebani keuangan negara dan beririsan dengan kementerian tertentu. Padahal, ada beberapa lembaga yang masih dibutuhkan.
“Pemerintah membubarkan lembaga negara yang masih dibutuhkan. Misalnya, KP3EI yang menjalankan MP3EI terintegrasi dengan MP3KI yang terbukti menumbuhkan ekonomi sampai 6,5%, menurunkan kemiskinan dari 16,7% menjadi 10,9%, dan menekan pengangguran dari 11% menjadi 5,7% di zaman SBY. Setelah itu, Pemerintah membuat kelembagaan baru yang tidak perlu serta tidak efektif dan efisen. Ini menunjukkan inkonsistensi Pemerintah dalam mengelola negara.” Tutup Syarief Hasan. (kataberita/icn)