Cerpen: Cap Kampung Maksiat

oleh
Romi Afriadi
Romi Afriadi

Oleh: Romi Afriadi

Jauh sebelum bangunan itu ada, sebuah lapangan bola berada di situ, dan menjadi sarana bermain para pemuda. Tapi keputusan pemerintah setempat satu dekade silam mengubah lapangan itu menjadi masjid, berbuah blunder. Masjid itu tak kunjung siap, hingga jadi terbengkalai.

Bangunan itu menyisakan bata-bata yang belum di plester, pergantian pemimpin membuat urusan pembangunan jadi kian rumit. Pemimpin baru malah akhirnya menjual tanah itu kepada seorang pengusaha dari kota. Siapa sangka, bangunan itu justru dijadikannya sarana maksiat, semacam teleju. Segala keburukan berkembang di situ. Judi, mabuk-mabukan, transaksi narkoba. Lonte dari berbagai usia datang silih berganti. Puntung rokok dan kondom berserakan di mana-mana.

Baca Juga :   Padang Panjang Kembali Menggelar Temu Penyair Asia Tenggara Tahun 2022, Ini Persyaratannya...

Bau pesing dan semacam aroma pandan menyeruak setiap orang lewat di situ, padang ilalang setinggi pinggang dibiarkan saja tumbuh, seolah menyamarkan bentuk dan perbuatan manusia di dalamnya, pada ruang-ruang bersekat yang dipenuhi desahan-desahan nikmat.

“Inilah warisan yang ditinggalkan para pemimpin biadab, rusak jadinya.”

“Pantas saja kampung kita selalu kena azab, kita membiarkan maksiat merajalela.”

Baca Juga :   Cerpen: Buruh-Buruh Bangsal

Suara kegeraman silih berganti diteriakkan beberapa tokoh muda, mereka menyepakati, penghapusan tempat itu dari perbuatan maksiat harus disegerakan.

“Kita harus segera meruntuhkan kembali bangunan itu,” Jundi, tokoh muda yang menjadi Kepala Desa memberi sabda di hari pertamanya dilantik.

***