Cerpen: Membuat Anak Bersama Marni

oleh
Cerpen Ferry Fansuri
Ferry Fansuri

*Oleh Ferry Fansuri

Setiap kesulitan selalu ada kemudahan, itulah yang terjadi pada Limbung yang sempat terlunta-lunta saat mendarat di Ibukota. Setelah ini Limbung akan menjalani hal berbeda dalam hidupnya, tanpa sepeser uang sedikit hanya baju yang melekat ia terpaksa jalan kaki mencari alamat lek Giman. Nomer telepon yang tertera dalam kertas kecil itu hilang bersamaan tas miliknya yang digarong maling saat ia sembahyang di musala dekat terminal.

Limbung hanya pernah mendengar perkataan lek Giman bahwa warteg miliknya ada didepan pabrik pengepakan plastik.

“Ciledug itu daerah ramai, warungku tak pernah sepi”

Hanya itu yang diingat Limbung dari mulut paklek-nya, ia memukul-mukul kepala untuk menemukan jawaban dari masalahnya. Limbung terus berjalan menyusuri jalanan yang entah letaknya dimana, kadang ia berhenti sejenak untuk duduk istirahat karena kaki-kaki terasa pegal.

Tanpa alamat jelas, Limbung mereka-reka warung milik lek Giman. Didalam otaknya hanya terurai tiga kaki kunci yaitu pabrik, ramai dan Ciledug. Dimanakah itu semua terasa asing bagi Limbung, satu-satunya jalaan mengorek informasi dari sekitar.

Limbung mendapatkan secuil info dari tukang parkir bahwa arah ke Ciledug hampir 10 kilometer dari tempatnya sekarang. Secercah harapan di raup mukanya, seperti ada energi lebih merambat dikakinya. Semangat saja ia punya dan tak lebih dari itu, terus berjalan dan jalan. Hampir 2 jam lebih berjalan dengan sandal jepit pemberian marbot masjid, sepatu miliknya juga diciduk maling juga.

Sesampainya di Ciledug, Limbung mulai kebingungan tujuh keliling. Area seluas ini dimana letak warteg milik paklek-nya, mau tak mau ia harus bertanya sana sini. Mulai dari anak kecil, penjual cilok sampai satpam kompleks perumahan. Jawaban yang simpang siur dan memberikan arah tak karuan mengenai pabrik pengepakan plastik itu. Ada yang ngomong di ujung jalan, ada juga yang menebak-nebak ke arah timur bahkan bloon saat ditanya.

Apa boleh buat Limbung harus terus bergerak, hari mulai gelap menjelang sore. Nasib memang tak bisa bisa duga, saat kelelahan akan berjalan. Limbung mendapati jalanan sudah mulai sepi, lalu lalang terasa minim. Didorong kelelahan yang amat, Limbung bergerak pelan dan sedikit mata berkunang-kunang ia melihat didepan ada bangunan kecil dengan kursi kayu panjang.

Diotaknya hanya keinginan untuk merebahkan badan yang letih, perduli setan dalam hatinya. Tanpa hitungan detik, Limbung menghempaskan dirinya di kursi itu dan terlelap seketika. Hari mulai mendekati subuh, sinar mentari mengintip malu-malu. Limbung masih tertidur disana dan wajah kusut. Mulutnya menganga hebat, air liurnya menetes membasahi sekuhur tubuh. Kedua tangannya lunglai hampir menyetuh tanah, aktivitas manusia telah mulai memadat.

Baca Juga :   Cerpen: Cap Kampung Maksiat

Tak disadari oleh Limbung, adegan tidurnya dipelototi orang-orang yang melewati dirinya.

“Kasihan, pasti capek banget itu sampai segitu”

“Ini siapa? Seperti orang pingsan”

“Ada yang kenal nggak?”

Semua orang berkerumun bagai menonton sirkus jalanan gratis, semakin lama semakin banyak yang berdatangan. Riuh bergemuruh celoteh anak manusia yang penasaran. Awalnya hanya melihat-melihat tapi ada yang mulai usil, dengan ranting kering mereka menyodok-nyodok ke tubuh Limbung untuk memastikan apakah ia hidup atau mati.

Saat kerumunan itu semakin ramai, pintu depan mereka terbuka tiba-tiba dan muncul seorang tua dengan wajah tirus.

“Hei ngapain kalian ada disini. Bubar. bubar !”

Mereka sesaat tadi mendapatkan pertunjukkaan gratis akhirnya bersungut mundur perlahan. Sejurus kemudian kaki tangan Limbung mulai bergerak sepertinya merespon suara-suara bising tersebut dan segera terbangun.

“Di mana aku ini?”

Limbung macam mengingau tak karuan, rasa penat itu masih menjalar ditengkuknya. Bola matanya terus melirik ke kanan dan kiri tanpa henti untuk melihat sekitar. Kedua mata yang akhirnya tertumbuk dengan mata pria tua itu bagaikan dejavu, neuron otak bekerja mengingat wajah dan tak asing baginya.

Lek Giman?”

Limbung sedikit tersentak dan perlahan membuncah.

“Limbung?”

Mereka saling berpelukan dan menepuk-nepuk punggung, suatu pertemuan mengharukan.

“Darimana saja kau Limbung?”

“Tak ada kabar sama sekali

Limbung tak mejawab pertanyaan paklek, perutnya sudah keroncongan dari tadi. Lek Giman mendengar itu tertawa lepas dan mengajak Limbung masuk ke rumah yang merangkap warteg. Kebetulan didalam masih sisa makanan semalam, Limbung melahap semua mulai tempe mulai keras, nasi sedikit berkerak atau sayur mulai basa. Semua tandas di mulut Limbung, rasa lapar itu mengalahkan semua.

Setelah itu Limbung bercerita panjang lebar tentang nasib nahas itu ke kepada paklek-nya. Lek Giman hanya geleng-geleng kepala dan merasa bersalah atas ponakan, tapi untungnya ia selamat sampai tujuan.

Percakapan itu telah usai, Limbung mulai ikut membantu di warteg lek Giman. Dari ikut memasak sampai melayani pembeli, gairah hidupnya menggeliat seiring datangnya Marni ke warteg milik lek Giman. Perempuan manis yang selalu datang pada hari menyingsing terik untuk membungkus makan siangnya. Makhluk manis itu adalah buruh pabrik didepan warteg, adanya Marni membuat semangat kerja berlipat-lipat.

Baca Juga :   Cerpen : Negeri Tanpa Senyum

Keinginan awal dari Limbung memang ke ibukota untuk bekerja di pabrik, membantu lek Giman hanyalah sementara. Keingintahuan yang besar akan Marni membuat Limbung mengorek info sampai pabrik bahkan rela untuk melamar kerjaan didalam sebagai buruh angkut.

Sepertinya Marni tidak menampik Limbung, dua sejoli ikut menghiasi suasana pabrik yang sejujurnya carut marut. Krisis ekonomi menerpa pabrik pengepakan plastik, bahan baku yang sulit didapat karena tidak dapat dilokal. Harga yang membubung tinggi, tidak sebanding biaya operasional pabrik. Akibatnya hantu PHK berterbangan, satu persatu buruh terkena imbasnya. Tidak hanya PHK tapi penunggakan gaji mulai terjadi.

Tapi mereka tak tinggal diam dan melakukan  perlawanan, tiap pagi tiada hari tanpa demo. Mereka menuntut hak-hak mereka dipenuhi dan teman-teman mereka yang di PHK dipekerjakan kembali. Tapi pihak manajemen pabrik tidak bisa memenuhi tuntutan para buruh bahkan mengerahkan preman-preman bayaran untuk menghantam mereka.

Limbung juga Marni juga ikut kedalamnya, perselisihan itu berlangsung bertahun-tahun dan tidak menemukan titik terang. Para buruh bertahan karena penghidupan mereka ada disana, mencari kerja di jaman sekrang terasa sulit. Mereka rela dibayar murah atau 3 bulan sekali dibayar.

Limbung dan Marni juga bertahan, cinta kasih mereka sampai ke pelaminan dan melahirkan seorang bayi perempuan mungil yang kemudian diberi nama Kantil. Hidup mereka terasa lengkap akan kehadiran Kantil, Limbung mengontrak ruang kecil disebelah warteg lek Giman biarpun itu dari utang ke paklek-nya. Sebagai balas budi Limbung dan Marni bantu-bantu warteg lek Giman sebelum pergi kerja serta menitipkan Kantil. Lek Giman melihat pasangan muda ini merasa kasihan, terkadang memberikan upah tak terlalu besar.

“Ini buat susunya Kantil”

Alasan yang selalu dipakai lek Giman agar mereka tak tersinggung. Betapa demikian lek Giman begitu sayang kepada mereka terutama Kantil, apalagi ia seorang duda tinggal istri mati. Kehadiran Kantil jadi obat pelipur lara, menimang-nimang secercah harapan hidup.

***

Kondisi pabrik mulai parah dan seakan ambruk menunggu waktu, sendi-sendi ekonomi keropos. Sore ini ada indikasi penumpukan massa dan bergerak masif ke kantor manajemen untuk menuntut kejelasan atas nasib teman-teman mereka. Ini dipicu seorang teman mereka bernama Sarbot berselisih dengan satpam pabrik gara-gara mempertanyakan uang lembur yang tidak sesuai janji manajemen. Sarbot pun berkoar-koar didalam parik dan membikin kegaduhan, ini membuat buruh mogok. Pihak manajemen murka atas tindakan Sarbot yang menyebabkan operasional mandeg.

Baca Juga :   Puisi Muhammad De Putra

Esok paginya Sarbot ditemukan meregang nyawa di selokan dekat kostnya, ini mengindikasikan bahwa  ada permainan pihak manajemen menyuruh preman-preman bayaran mereka untuk menggebukinya.Geram akan rasa amarah yang meluap,  Limbung dan Marni juga ada dibarisan terdepan. Gelombang massa terus merangsek ke pagar pabrik, para satpam dan peman bayaran tak bisa menghalau. Mereka mulai menggempur pagar dan berhasil menyelinap, mereka tak menemukan pihak manajemen dan akhirnya merusak semua aset pabrik hingga menimbulkan kerugian hebat. Kebakaran menyulut dimana-mana, huru-hara itu tak bisa dihentikan sama sekali.

***

Sore itu mulai surup dan merambat ke malam membuat penghuni terlelap dalam mimpi-mimpinya. Dalam hening itu terpecah oleh tangis balita yang memekikkan telinga, gaduh membangunkan pemukiman kumuh itu. Warga terbangun untuk mencari asal sumber suara itu, mereka mendapati Kantil berjalan keluar dari rumah itu dengan bersimbah darah dan menangis sejadi-jadinya.

Mereka mendapati 3 sosok mayat tergeletak tak bernyawa, mereka tertelungkup dengan leher tersayat benda tajam. Sebuah tanda tanya besar yang terjadi disana?

Mengapa pembunuhan itu terjadi? Semua keluarga terbunuh dan menyisakan Kantil sebatang kara yang masih berusia 4 tahun itu. Rumor berhembus bahwa mereka terbunuh akibat kongkalikong manajeman pabrik, pembunuh-pembunuh bayaran menghabisi meresa dengan sadis.

Saat banyak pertanyaan-pertanayan diotak mereka dan meninggalkan Kantil bersendu senda dan menyekap airmatanya sendiri. Sesosok mendekati Kantil dan mengulur tangannya.

“Ikutlah denganku, ada surga mainan disana. Kau tak akan bersedih selamanya”

Kantil mendengar itu pun tersenyum riang dan meraih tangan itu.

Surabaya, Januari 2018

*Ferry Fansuri adalah penulis kelahiran Surabaya. Karya novel terbarunya “Jangan Katakan Itu Rindu” 2019 (FAM Publishing). Salah satu juara favorit lomba cerpen “Urbanhype” Dewan Kesenian Surabaya (DKS) 2019. Kini menulis freelance dan tulisannya tersebar di berbagai media Nasional.