Puisi Awawa Yogarta

oleh
puisi awawa yogarta
Awawa Yogarta

Blok M

blok m yang hangat menyambut kedatanganku dengan lalu lalang orang bergandengan tangan. tempat ini masih ramah bagi muda-mudi yang sedang membangun prasasti cinta bermodal gombal belaka. setelah senja, taman ayodya menjadi ladang para pasangan memupuk asmara di tengah kemacetan selatan jakarta. tua dan muda, miskin dan kaya, sama-sama dimabuk asmara sampai waktu menyadarkan mereka bahwa cinta membutuhkan jeda.

arsip cerita pada masa sma terbuka saat aku tiba di blok m plaza, sampai lupa usiaku sudah kepala lima. bersama kawan sepermainan, aku biasa bolos demi bermain dingdong sampai kantong bolong dan pandai berbohong. terkadang kami nongkrong di terminal blok m: memburu stensilan enny arrow yang mematangkan berahi para remaja sebelum waktunya; membeli kaset faris rm supaya terlihat trendi di mata siswi-siswi.

kutemukan serpihan masa silam yang tenggelam di toko buku gramedia, tempatku melesatkan panah asmara kepada dara yang selalu juara lomba matematika. bersama dia, kumasuki seribu pintu menuju rimba ilmu dari setiap buku yang kami baca dengan tergesa tanpa membelinya. selanjutnya, kami berjalan-jalan sore sambil mencari-cari alasan untuk terus bergandengan tangan sampai berpisah di persimpangan falatehan.

Baca Juga :   Program Unggulan Gubernur Anies Banyak yang Gagal, eh Malah Sibuk Safari Politik

blok m yang dingin melepas kepergianku dengan kebisuan seniman paruh baya yang menggigil di pelataran wapres bulungan. di tempat ini, aku berkali-kali jatuh cinta pada puisi; melihat rendra dan radhar panca dahana memilin kata-kata menjadi toa yang mengusik tidur nyenyak para penguasa haus kuasa. sayangnya kini tak kutemui lagi puisi yang lebih nyaring dari gonggongan anjing.

Palmerah, 2020.

Tentang Lapangan Bola Terakhir di Jantung Kota

kupanen berjuta ton kenangan di lapangan bola sebelah perumahan sebagai salam perpisahan. lapangan yang menjadi surga bermain anak-anak itu sedang disemen sebelum dibangun apartemen. tangis bocah pecah di dalam jiwa kanak-kanakku. suaranya seperti rengekan anak tetangga saat mainannya direnggut kakaknya.

Baca Juga :   Politik Bunuh Diri Golkar DKI

orang dewasa yang tak punya nostalgia memang semena-semena membuang album lama. mereka menggusur ladang kenangan tanpa penguburan atau penghormatan, merendahkan kehilangan. papan peringatan: dilarang mengekalkan ingatan, terpancang di sepanjang lapangan.

setelah apartemen itu berdiri, tak kudengar lagi kicau burung bernyanyi mengiringi anak-anak berlari. orangtua membiarkan televisi mengasuh anak mereka dengan drama remaja yang memuja harta dan klise belaka. anak-anak tumbuh menjadi manusia kamar yang jantungnya berdebar dan wajahnya terbakar jika keluar rumah; tanpa keriangan dan kenangan bermain bersama kawan.

biarlah aku menjadi hantu masa lalu, meski orang-orang dari masa kini berkali-kali mengencingiku.

Palmerah, 2020.

Vice Versa

selalu begini. seorang lelaki mencari sarang cinta kedua setelah ibunya naik ke surga. kepada setiap wanita yang menggenggam tangannya, dia menyusun peta perjalanan menuju rumah tangga beserta marabahaya yang luput dari mata. air matanya—yang menyuburkan bunga kamboja di pusara ibunya—mendamba hangat tubuh wanita yang mendekap penderitaan dan kebahagiaan seperti seorang ibu yang menidurkan sepasang bayi kembar.

Baca Juga :   Puisi Zetira Tilafa

selalu begitu. seorang wanita hanya memberikan kunci pembuka rahimnya kepada pria yang telah mengalahkan bapanya bermain catur. meski hatinya hancur melihat bapanya kalah tempur, diam-diam dia bersyukur karena bisa keluar sangkar dan membuat sarang bersama orang tersayang. detik itu juga, ibu-bapanya telah menjadi hantu yang terpulau di masa lampau.

Palmerah, 2020


*Awawa Yogarta bermukim di Palmerah, Jakarta Barat. Menjadi content writer di sebuah startup media. Cerpennya tergabung dalam antologi “Narasi Baru” yang digagas Festival Sastra Tangerang Selatan 2018.