Cerpen: Kriminal

oleh
Cerpen Moehammad Abdoe
Moehammad Abdoe

Oleh: Moehammad Abdoe

LANGIT malam masih menyembunyikan pernak-perniknya di balik beludru hitam. Jalanan basah serta licin, tidak mengurangi kecepatan gerak roda motor mereka sedikit pun, saat menerobos sisa-sisa hujan. Motor tua tanpa slebor di bagian roda belakang itu, membuat punggung Dodik kotor dibercaki lumpur, saat melintasi jalanan berlubang. Menciptakan bintik-bintik menjijikkan seperti jamur pada kain putih.

Bau mulutnya seperti bau mulut seekor naga. Juga tidak kalah menjijikkan saat meminta Mantok menubrukkan motor bebeknya ke trotoar. Dua lelaki dengan julukan ‘Bento’ itu, tidak segan-segan meludahi mobil yang berpapasan dari pengendara lain. Kadang juga tergelak-gelak sendiri sambil mengacungkan jari tengahnya kepada siapa pun yang melintas.

Mereka sama-sama sepakat bahwa kematian adalah puncak dari kehidupan yang tidak pernah mereka inginkan selama ini. Namun, Mantok tidak sebodoh pemikiran Dodik. Berniat bunuh diri menggunakan motor bebek yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.

Bagi mereka, dunia hanya untuk segelintir manusia. Yakni, yang bisa menangkap warna-warni kehidupan. Mempunyai pasangan. Dan terpenting, selalu bersyukur tidak sebagaimana mereka kelaparan di bawahnya.

“Cuih …!” Lendir di kerongkongan Dodik kembali menyembur pengendara motor. Kali ini, tepat di mukanya.

“Anjing!”

“Babi!” sahutnya tidak mau kalah.

Mantok hanya terbahak-bahak seraya menyeka air hujan di wajahnya. Mereka puas malam ini, meskipun hasil operasinya tidak sesuai target awal. Cukup untuk membeli tiga botol anggur dan beberapa gelintir lisong, tetapi mereka cukup puas.

Motor mereka sekarang memasuki area persawahan. Penerangan minim di sana, ditambah lagi terpaan gerimis, membuat kelopak mata pengemudi motor era 70-an itu terus berkedip-kedip menyesuaikan jalan. Sementara efek alkohol membuat pori-pori kulit mereka seperti mengerut. Sehingga maklum, jika mereka tidak merasakan dingin, meskipun angin basah terus menerpa pipinya.

Suasana hening sesaat. Dodik terdorong melakukan hal-hal di luar nalar. Tekanan darahnya mengalir deras. Menghasilkan denyut jantung khas orang gelisah. Itu dapat dirasakan Mantok saat Dodik merapatkan dada bidangnya ke punggung. Tentu Mantok hafal betul seperti apa tabiat buruk sahabatnya saat kondisi trans. Namun, Mantok tidak merasa terganggu dengan tingkah laku sahabat kentalnya itu.

Baca Juga :   Cerpen: Membuat Anak Bersama Marni

Mereka berteman sudah cukup lama. Masing-masing dari mereka pun kian lupa, bagaimana mulanya bisa ke titik akrab seperti saat ini. Mereka tidak pernah membahas hal itu! Yang jelas, mereka tinggal satu kampung dari lingkungan yang menurut pandangan masyarakat luar, kampung tersebut terkemuka sebagai ‘sarang bajingan’.

“Percuma bunuh diri menggunakan belalang tempur ini, Ben. Kecepatannya mentok di angka 60 kilometer. Itu hanya akan membuat luka kecil saja di lutut kita,” ujar Mantok merespons pernyataan usang Dodik.

Ada sesuatu yang mendadak timbul di hati kecil Dodik. Legah. Karena sahabatnya itu biasanya, tanpa pikir panjang akan berbuat nekat, jika sehabis meneguk minuman keras.

“Orang tinggi ‘kan bebas ngomong apa saja, To!” tangkis Dodik seraya menegakkan posisi duduknya. Tangan kirinya baru terlihat setelah dibenamkan ke dalam celana dalamnya. Mengambil napas panjang, lalu membuangnya dengan perasaan lega.

“Kau pulang saja, To. Besok pagi kita cari mangsa lagi!”

“Siap, tapi kalau nanti di rumah nggak ada Anita, pakai saja air gamping, supaya cepat ngembang,” goda Mantok.

“Maaf, aku sudah punya pelumas favorit yang lain,” jawab Dodik dengan lugas.

Pagi selepas mengeksekusi mati seribu setan yang bersarang di kepalanya, tubuh itu masih kosong kehidupan. Penanda penghuni di dalamnya masih dalam keadaan lena dengan mimpi-mimpi yang hanya menawarkan kesumpekan.

Dodik masih terlelap di atas tilam. Dadanya telanjang penuh balutan kapuk menempel hingga ke rambut keritingnya. Kapuk-kapuk di rambutnya itu serupa taburan salju pada pohon bunga sakura di Jepang. Dia suka menonton situs terlarang di layar gawainya.

Di ambang pintu kamar yang ditutupi kain kumal biru tua, Mantok menampakkan batang hidungnya di sana. Rumah Dodik memang sengaja tidak pernah dikunci. Siapa pun mempunyai akses masuk kapan saja ke markas besar yang anggota penghuninya sudah banyak mendekam di balik jeruji penjara. Dari masalah perjudian online, maling sapi, pecandu narkoba, penganiayaan, dan bahkan pencabulan.

Pagi ini, Mantok tidak seperti biasanya. Ia cenderung muram di antara tirai kumal dengan baju kontras yang dikenakan. Matanya merah pucat menatap ratusan foto terpajang pada dinding kamar. Sebentar berkaca-kaca. Namun, segera meresap saat melihat tubuh sahabatnya itu bergerak. Ada ketakutan mendasar di balik komitmen dirinya sebagai pelaku kriminal.

Baca Juga :   Cerpen: Rencana Kematian

“Selamat pagi, Ben!” sapanya untuk mencairkan ketegangan di hatinya. Mantok tidak ingin terlihat bodoh di depan Dodik.

“Rajin benar, seperti pekerja kantoran saja.”

Dahi Mantok sebentar mengernyit. Kakinya terangkat masuk ke dalam. Berdiri mematung di sebelah ranjang dengan tangan terlipat di perut.

“Bagaimana semalam? Apakah Anita sudah berhasil kau tunggingkan.”

“Aman! Hahaha.” Jari telunjuk Dodik melingkar bertemu ujung ibu jari.

“Bagus, deh! Sekarang cepat bangunlah, aku tunggu di meja tengah.” Mantok memutar badan kemudian berlenggang keluar kamar.

Meja tengah adalah meja diskusi tempat pemetaan rencana siapa yang menjadi korban kebengisan mereka hari ini. Itu harus jelas. Karena, sebagai penjahat kelas bawah, sedikit pun wajah mereka tidak memiliki wibawa sebagaimana penjahat kelas atas. Maka itu, dibutuhkan sebuah keuletan berpikir, serta komitmen diri sebelum benar-benar meluncurkan aksinya.

Di ruangan kumuh tempat meeting itu, kaki di antara mereka kemudian mulai bergerak dalam satu kesepakatan, setelah melalui pembahasan singkat di meja diskusi. Misi mereka pagi ini melakukan perampokan kepada anak-anak sekolah.

***

TERDENGAR hiruk-pikuk jalanan pagi itu oleh suara klakson yang nyaring di telinga. Ratusan bahkan mencapai ribuan motor dan mobil, berebut saling susul tidak beraturan. Motor mereka berada di antaranya.

Kali ini, mereka tidak menggunakan motor butut kepunyaan Dodik yang semalam dipakai bersenang-senang. Motornya sekarang jauh lebih mempunyai tenaga untuk dibuat lari dengan kecepatan di atas rata-rata.

“Kau belum mandi, ya?” singgung Dodik di depan. Lengan kirinya menyiku perut Mantok.

“Kenapa?”

“Orang-orang banyak yang menutupi hidungnya dengan masker.”

“Itu karena mereka takut virus corola, Goblok.”

“Corona, Tolol!” Dodik menyiku ulang perut Mantok sedikit lebih keras.

“Apa pun …, terserah.”

“Ngomong-ngomong masalah coronavirus itu, aku sudah menemukan penangkalnya,” ujar Dodik. Mereka akan sedikit berkelakar untuk mengurangi rasa ketakutan.

“Apa?”

“Nasi empok dari Jawa!”

Baca Juga :   Cerpen: Gambar Si Bocah

“Hahahaha!” Ketawa mereka pun akhirnya pecah.

***

Di sebuah halte, gadis berseragam SMP, tampak sedang menanti kedatangan bus yang biasa membawanya pergi ke sekolah. Dodik menepikan motornya, dua puluh meter dari halte. Tilik matanya mengincar sebuah telepon genggam di tangannya.

Mantok masih mencari peluang tepat di antara lalu-lalang pejalan kaki untuk saatnya nanti merampas telepon genggam tersebut. Sementara gadis itu, sama sekali tidak menaruh curiga apa pun kepada mereka. Tangannya sibuk berkutat.

Beberapa saat ketika para pejalan kaki di sekitar halte mulai menjauh, Mantok memberikan aba-aba kepada Dodik untuk melajukan motornya ke arahnya.

“Pelan-pelan dulu, Ben.”

“Oke, oke.”

“Jammbbreett!” Gadis itu seketika berteriak lantang saat gawai miliknya tiba-tiba berpindah tangan. Suaranya mengundang banyak perhatian para pengendara sekaligus ibu-ibu yang tengah sibuk memilih sayuran di seberang jalan.

Dengan sigap tangan kanan Dodik menguntir kabel gas motornya kuat-kuat. Namun, gerakan refleks dari kecemasan gadis itu untuk merebut kembali telepon genggamnya, juga tidak kalah sigap. Kedua tangannya mencengkeram kuat kaus Mantok dari belakang. Dua tarikan berlawanan itu berhasil membuat Mantok terjatuh dari tempat duduknya.

Warga sekitar mulai saling berdatangan. Dodik sempat berhenti dan menoleh sejenak ke belakang. Namun, dengan terpaksa harus meninggalkan sahabatnya itu menjadi bulan-bulanan massa.

Kecepatan motor Dodik berpacu balap dengan degup jantungnya sendiri. Kabur adalah pilihan terbaik untuk menyelamatkan nyawa di antara mereka.

Untuk menyelamatkan Mantok dari tangan agresi warga. Sesuai pemetaan di meja diskusi, Dodik harus cepat sampai di Kantor Polisi. Bukan untuk mengakui perbuatannya, tapi hanya memberi kabar bahwa ada penangkapan seorang perampok yang menjadi samsak bebas amukan massa.

Mobil patroli kemudian dikerahkan menuju TKP. Tanpa sepengetahuan kaca spion mobil tersebut, motor Dodik menyelinap pelan di antara hiruk-pikuk kemacetan umum untuk menghapus kembali jejaknya.

Malang, 22 Juni 2020.


*Moehammad Abdoe, menulis puisi dan cerpen. Saat ini, aktif menulis di grup Komunitas Bisa Menulis (KBM 2013). Karya-karyanya pernah terbit di berbagai media massa serta diabadikan di berbagai buku antologi.