Oleh Mat Toyu*
Anak itu menangis bergoleng-goleng di lantai. Tangisnya mengharu-biru. Tangisnya adalah tumpahan ketakutan pada ayahnya yang sering memarahinya jika anak itu tak menuruti permintaannya. Pagi itu, anak itu kembali menangis ketakutan, di belakangnya ayahnya duduk di kursi tanpa berbicara. Dia diam menatap tembok yang tercorang-coreng huruf-huruf yang tak sempurna atau bahkan gagal. Ada pula gugusan gambar-gambar gunung, lautan dan panorama yang tak sempurna dan itu semua membuat ayahnya marah. panorama alam yang tak sejuk untuk dipandangi. Pohonan yang daun-daunnya mengering serta embun-embun yang tak lagi menghiasi panorama itu.
Ayahnya sedikit membentak. Sedikit-sedikit membentak. Bentakannya sedikit-sedikit. Di pagi yang mulai terasa panasnya, anak itu menumpahkan segala keenekannya dengan tangisan yang penuh. Hari itu seperti hari yang paling tepat untuk menumpahkan segala tangis yang selama ini dipendamnya. Anak itu berteriak histeris. Anak itu menjerit. Mengadu. Tapi tak ada yang dapat menolongnya. Orang-orang yang biasanya berdatangan kalau ada suara tangisan, pagi itu semua orang tanpak tak mendengar. Orang-orang semain khusuk pada aktivitasnya masing-masing. Merokok dengan kopinya. Mencuci dengan airnya serta pergulatan dengan sumur dan aktivitas-aktivitas lainnya yang membutuhkan tenaga.
Ayahnya masih menatap tembok yang penuh huruf-huruf dan gambar-gambar tak sempurna. Ayahnya mulai memperhatikan huruf-huruf yang penuh kelokan di setiap huruf-hurufnya. Ayahnya seperti melihat aliran sungai yang sangat deras dalam huruf-huruf itu. Pada huruf A yang penuh kelokan di sisi miringnya membuat sang ayah sangat serius menatap dan memperhatikan tiap-tiap kelokan, dalam penglihatan ayahnya, sisi miring A itu mengalirkan air bening, ayahnya dapat merasakan rasa air yang mengalir dari kelokan-kelokan yang membangun sudut kemiringan pada huruf A.
Ayahnya melihat aliran air yang tersendat pada garis vertikalnya. Ada banyak hal yang membuat air itu berhenti. Tak jalan. Tak ada lubang. Ayahnya mulai sedikit mengangkat pantatnya untuk membuka penyebab tersendatnya aliran sungai dalam huruf A. suara anak berusia enam tahun itu terus memekik. Dalam pikiran anak itu bermunculan orang-orang yang biasanya menyayanginya, ia memanggil ibunya, neneknya, kakeknya yang sering meminta dipijat dan memberikan permen bergagang. Anak itu ingin berdiri, tapi terasa sangat berat.
Lantai itu sangat basah oleh lelehan air mata dan ingus. Anak itu membiarkan ingus dan air matanya mengalir sendiri, sesekali ingusnya ia jilat, sesekali pula ingusnya ia hapus dengan lengannnya, ia hapus dengan tangannya dan ia hapuskan pada lantai dan tembok. Anak itu masih berharap ada orang yang datang dan menolongnya. Tapi harapan itu hanya melayang-layang dalam mimpinya. Pekik tangisnya mereda. Anak itu tengkurap. Dia diam. Anak itu nyaris saja tertidur. Matanya merem. Sesekali kepalanya tersungkur tak mampu ia tahan antara berat dan kantuk yang menyerang bertubi-tubi.
Anak itu kembali menjerit nyaring seketika. Ayahnya menoleh, dengan cepat berdiri. Tapi ayahnya duduk kembali. Anak itu menggaruk betisnya sekitar enam puluh detik dan anak itu menemukan semut yang sudah mati. Anak itu tetap saja menangis dan mementes semut itu dengan jempol jarinya. Anak itu kembali tengkurap dan menangis sesegukan.
Ayahnya di atas kursi masih dengan tatapan matanya. Sekarang ayahnya menatap sebuah huruf B yang berjerimbun arsiran. Huruf penuh arsiran itu sangat membosankan. Arsiran-arsiran itu mirip gambar-gambar daun pada pohon-pohon yang dilihat dari jarak jauh. Pada saat yang lain, arsiran itu mirip dengan siluet senja, tapi sayang ayahnya terlampau bosan dan tak punya niat untuk memperpanjang keinginannya menatap lama-lama atau bahkan menoleh sekali lagi untuk memastikan kebenaran atau paling tidak memastikan kalau huruf yang diarsir secara berlebihan adalah B atau bukan. Lelaki itu bahkan merasa cemas dengan arsiran yang berlebihan itu, lelaki itu bukan hanya bosan, melainkan terdiri dari unsur cemas, sedih dan bosan teraduk dalam batinnya.
Ayah anak itu mengalihkan perhatiannya pada gambar-gambar yang semakin tidak jelas. Ada gambar gunung yang tak sempurna, gambar lautan tanpa pasir, tanpa ikan, tanpa lambaian daun nyiur, gambar sungai yang penuh sampah, gambar perkotaan yang amat menyedihkan. Ayah anak itu belum menelisik lebih dalam kota-kota yang digambar anaknya, tapi telah membatalkan keinginannya untuk mengatakan bahwa kota yang digambar anaknya adalah gambar yang sesuai seleranya atau minimal nyaman untuk dilihatnya.
Ia masih duduk di kursinya. Sempat ingin melangkah, hanya sempat ingin, tapi batal. Beberap menit yang lalu ia ingin beranjak untuk meninggalkan kursi yang membosankan, kursi yang telah reot. Kursi yang sangat membahayakan kenyamanan duduknya. Kursi di teras itu terbuat dari kayu hasil mencuri. Tapi lelaki itu tak pernah merasa mencuri. Kayu itu terukir dramatis di balik tempat bersandarnya. Ada ukiran pertarungan hewan-hewan buas, ada ukiran naga yang menganga, kaki-kakinya siap mencakar, ada macan yang taring-taring lancip. Pada bagian tempat pantatnya, lelaki itu melapisi kursinya dengan beragam kain yang membuatnya empuk. Kain-kain itu berupa sobekan baju, sobekan sarung, sobekan celana, rombengan celana dalam, BH, kerudung, jilbab, hijab, kopiah putih, masker dan potongan-potongan kain yang lain. Di kedalaman kursi yang empuk itu ada peniti yang berdiri tegap, sebab ia terlepas dari lubang kendalinya, peniti itu berada di sebuah baju yang terampas kancing-kancingnya. Meski peniti berdiri, siap menancap pantat, tapi keberadaannya terlalu dalam, tertimbun kain-kain. Aman lah lelaki yang duduk diatasnya, lelaki yang membiarkan anaknya menangis seteriak-teriaknya.
Lelaki itu hanya berpikir untuk sedikit mengubah posisi duduknya. Untuk mengusir kebosanan yang mulai merayap di pantatnya yang kemudian mengalir melalui tulang punggungnya ke kepalanya, serta hendak menghindari kesemutan yang mulai menjalar pada uratnya.
“Mengapa anakku goblok? Ia bahkan tak bisa melukis panorama alam yang indah. Betapa kakunya. Pohon-pohon yang kering. Daun-daun pohon pisang yang mongering.” Gumamnya. Jeritan anaknya mulai tak terdengar. Seperti tertimbun kain-kain empuk yang melapisi kursinya.
Ia kemudian berpikir penyebab-penyebab anaknya tak bisa menggambar. Pada saat yang sama, ia mulai menyadari kursinya yang empuk mulai tak nyaman, mulai tak ada keempukan pada kursi itu. Apakah keempukannya sudah mulai menipis atau pantatnya yang mulai aus. Ia bertanya pada kediriannya.
Anaknya yang memperihatinkan. Kursinya yang memperihatinkan telah merasuk menjadi sejumut pertanyaan yang mengusik kenyamanan duduknya. Pada kursinya, ia coba segala cara posisi duduk. Sedikit bersandar, telah ia coba berkali-kali. Pernah mencoba duduk miring, dengan mengutamakan salah satu pantat. Tetap saja semuanya mengusik kenyamanan duduknya. Tapi yang paling tak menenangkan adalah gambar-gambar yang tak sempurna bahkan nyaris gagal. Terutama pada garis A yang berubah menjadi kelokan-kelokan. Seakan-akan garis-garis itu telah berubah.
Lelaki itu, sang Ayah mencoba menurunkan kaki kirinya, ia terinjak pada kertas. Lalu ia mengambil dan melihatnya, bukan sekedar kertas cover buku tulis anaknya, melainkan kardus yang berlapis kulit pohon pisang. Lapisan pohon pisang yang tertempel mencipta gambar lautan senja penuh dengan rimbunan awan-awam dan bias cahaya senja yang menyala merah kecoklatan, dengan pohon-pohon besar-besar yang mulai bertumbangan. Pada gambar itu, yang tersusun dari tempelan-tempelan potongan kulit pohon pisang, Sang Ayah mendapati desiran angin senja yang selama ini terhisap angin mesin.
“Oh.” Ucapnya lirih. Ia terkagum pada tempelan-tempelan itu. Meskipun tampak kasar. Sang Ayah dapat menikmatinya. Sang ayah juga terkejut pada lambaian asap yang keluar dari pojok gambar itu. Ia terus memperhatikan dari mana asap itu keluar. Matanya nanar pada api kecil yang tergambar dari tempelan kulit pohon pisang. Api kecil yang telah melahap pohon-pohon di kejauhan.
“Oh. Anakku. Kau meresahkan Ayah!”
Yogyakarta-Kebumen, 2015-2016
*Mat Toyu, kelahiran Sumenep Madura yang sedang menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Telah meneribitkan dua Antologi Buku Cerita Pendek (berbahasa Madura. Embi’ Celleng Ji Monentar, 2016 & Kerrong Ka Omba’, 2019). Kini tinggal di Yogyakarta.