kataberita.id — Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menilai seharusnya teguran keras terhadap menteri-menterinya ini sifatnya tertutup. Hal ini menjadi penting mengingat histeria publik terhadap momok pandemi Covid-19 ini belum usai, kalau tidak lebih tepat disebut semakin menakutkan. Sebaiknya Presiden mengevaluasi kinerja menterinya dengan bijak dan tanpa menimbulkan kegaduhan. Presiden punya otoritas penuh untuk menilai bawahannya yang masih layak dipertahankan atau tidak. Sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Namun demikian, yang justru menyisakan pertanyaan di benak publik adalah mengapa presiden sampai demikian dramatisnya menegur bawahannya di ruang publik? Bukankah ini justru menimbulkan polemik yang tidak perlu? Padahal, jika kinerja menteri tidak baik, ini menandakan kinerja presiden juga tidak baik. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, ini menandakan gagalnya para menteri menerjemahkan dan menjalankan visi, misi, dan program presiden. Atau bahkan, bisa jadi konsep dan program kerja yang disampaikan oleh presiden gagal menjawab tantangan-tantangan pembangunan.
Teguran terbuka yang disampaikan presiden, tidak saja meninggalkan tradisi buruk bagi soliditas kabinet, namun juga mencerminkan gagalnya presiden dalam mengarahkan tim kerjanya untuk bersatu padu mengentaskan berbagai persoalan kebangsaan. Bahwa sekalipun pergantian (reshuffle) adalah hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945, pelaksanaan hak istimewa ini perlu ketegasan sehingga berbagai masalah dapat ditangani dengan segera. Jangan sampai teguran terbuka ini hanya berakhir menjadi drama.
Partai Demokrat sudah sejak awal mewabahnya Covid-19 sampai saat ini sering menyampaikan masukan berkali-kali termasuk soal pengelolaan anggaran penanganan pandemi yang tidak cepat dan tidak tepat sasaran bahkan berpotensi terjadinya korupsi. Masukan ini sayangnya tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Sebagai contoh, kebijakan tentang TKA China tetap dibolehkan masuk ke Indonesia sementara pengangguran Indonesia semakin tinggi, lambatnya bantuan stimulus fiskal bagi UMKM dan koperasi, kurangnya perhatian bagi tenaga medis, serta miskoordinasi kebijakan penanganan Covid-19 antara pusat dan daerah. Belum lagi banyaknya berbagai kebijakan kontraproduktif dan tumpang tindih (misleading) antarkementerian negara. Alhasil, korban terinfeksi covid-19 semakin bertambah setiap harinya, data terakhir telah mencapai 55.092 jiwa per 29 Juni 2020.
Padahal pemerintah memiliki ruang yang sangat luas untuk mengambil kebijakan yang perlu dalam mengatasi pandemi covid-19 ini. Kebijakan ini bahkan bersifat extra-ordinary dan extra-legal. Skema formulasi dan pertanggung jawaban keuangan penggunaan anggaran Covid juga bersifat istimewa sebab negara dianggap dalam keadaan darurat. Buktinya, kenaikan anggaran penanganan pandemi yang semula dari Rp 405 Trilliun dan membengkak menjadi Rp 695 Trilliun tidak melalui mekanisme formulasi fiskal (fiscal budgeting) yang biasa. Namun yang miris, realisasi penggunaan dana covid-19 ini masih sangat rendah.
Di bidang ekonomi, keyakinan para pembantu presiden bahwa ekonomi akan tumbuh positif sepertinya rawan terjebak pada optimisme semu. Dana Moneter Internasional (IMF), kmisalnya, memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh negatif 0,3 % di tahun 2020 ini. Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga menyampaikan proyeksi serupa dimana ekonomi Indonesia akan tumbuh minus 2,8 % – 3,9 %. Begitu pun dengan Bank Dunia yang memprediksi pertumbuhan di angka 0 %. Sikap optimisme semu pembantu Presiden inilah yang membuat pemerintah tidak memiliki “sense of crisis” sebagaimana istilah Presiden Jokowi.
Dengan deretan fakta ini, menjadi wajar publik mempertanyakan bagaimana sebenarnya arah kebijakan dan keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi ini. Tersirat Pemerintah lebih mengutamakan penanganan ekonomi dibandingkan penanganan pandemi Covid 19. Ironisnya korban Covid 19 semakin meningkat tajam, stimulus ekonomi pun terhambat karena anggaran tidak tersalurkan. Boleh jadi reshuffle kabinet dalam waktu dekat adalah pekerjaan mendesak Presiden Jokowi. (kataberita/icn)