Cerpen: Rencana Kematian

oleh
Cerpen Anas S Malo
Cerpen Anas S Malo

Oleh: Anas S Malo*

Adzan Isya terdengar dari masjid sebelah timur jalan. Empat orang mendiamkan diri sejenak, membiarkan alunan adzan berlalu. Rustam seorang lelaki bertubuh kurus, rambutnya penuh uban, sering kali terbatuk-batuk dan memiliki nafas berat. Dalam perkumpulan empat orang lansia itu, dialah orang yang banyak bercerita. Itu menandakan, dia adalah orang yang berpengalaman di antara tiga orang lainnya. Di warung itu, orang-orang menyebutnya warung kopi sendang.

Dinamakan warung kopi sendang karena warung tersebut, berdekatan dengan sendang yang ada di Desa Tinawun. Sendang mirip dengan telaga. Airnya jernih. Banyak bulusnya. Sering kali orang-orang menangkapnya. Bulus, menurut sebagian dari warga, menyatakan binatang reptil yang halal untuk dimakan. Tapi tidak sedikit warga yang mengatakan, bulus itu haram, karena hidup di dua alam.

Setelah adzan usai, dia melanjutkan ceritanya. Entah itu, fakta atau sekedar bualan. 

“Orang dulu tidak banyak berpenyakitan, tidak seperti orang jaman sekarang. Orang-orang dulu sehat dan tidak banyak yang mati muda,” ujarnya.

“Orang jaman sekarang, umur empat puluhan ke atas sudah banyak yang kena penyakit aneh-aneh,” terusnya.

“Beda sama orang dulu, kalau orang jaman dulu mati karena sudah tua sekali, atau mati karena jatuh dari pohon kelapa,” kelakarnya. Empat orang lansia tersebut tertawa berbarengan.

“Ada juga karena kena santet,” tambah Kasim, lelaki yang ditaksir hampir seabad itu.

Rambutnya penuh dengan uban. Bedanya dengan Rustam, Kasim memiliki tubuh tambun dan pendek. Sedangkan Sukri dan Minto bertubuh cungkring tapi tidak setinggi Rustam. Rata-rata, umur mereka sepelantaran, hanya Minto yang lebih muda dua tahun dari mereka.

“Jaman sekarang, banyak makanan yang tidak sehat. Orang-orang dulu tidak makan makanan yang mengandung bahan pengawet, pewarna dan penyedap,” tutur Rustam.

Sementara ketiga di samping kiri-kanannya yang duduk bersandar di tembok kayu jati itu khusyuk mendengarkan apa yang diucapkan Rustam. Sesekali menyeruput secangkir kopi pahit disusul isapan rokok kretek.

Di samping kiri Rustam, Minto menghela nafas panjang dan membungkus tubuhnya dengan sarung bermotif kotak-kotak hitam putih lusuh. Sesekali ranjang tempat duduk empat orang itu berderit.

Baca Juga :   Cerpen : Sejarah Sepasang Sayap

Nyamuk-nyamuk yang mengelilingi mereka, menghindar karena asap rokok yang keluar dari mulut dan hidung mereka.

Bagi mereka, warung kopi tidak sekedar meminum kopi sambil mengobrol dengan teman, tetapi lebih dari.Menurutmereka, warung kopi merupakan cara untuk menikmati hidup dengan sederhana. Tempat itu adalah ruang untuk melepaskan diri dari kepenatan hidup.

Selama mereka mengobrol, hanya Sukri yang sedikit bicara. Tiba-tiba wajahnya memucat dan hanya bisa diam. Matanya menatap bohlam lampu LED tanpa berkedip. Sementara Rustam, Minto dan Kasim dibuat terkejut dengan hal itu. Rustam mencoba menggoyang- goyangkan tubuhnya. Telapak kakinya dingin seperti tak ada darah yang mengalir.

Sementara orang-orang yang berada di warung kopi itu mengerumuninya. Dia dinyatakan meninggal dunia, setelah ada seorang yang mengecek detak jantungnya sudah tidak berdenyut lagi. Kematian Sukri membuat geger orang yang berada di warung. Di ranjang tempat duduk dari kayu jati itu, Sukri menghembuskan napas terakhir, di malam Jumat Paing. Yang mengejutkan adalah, dia meninggal tak ada keluhan dan sakit apa pun. Rustam, Minto dan Kasim masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.

Namun, mereka menganggap, kematian Sukri adalah kematian yang baik. Dan, selayaknya ditempatkan di sisi yang baik pula, sebab dia meninggal tanpa sakit dan dengan gampangnya, ruh lepas dari raganya.

“Sungguh kematian yang amat diidam-idamkan setiap orang,” gumam Rustam.

Rustam menyadari bahwa dirinya dan kawan-kawannya sudah hampir menyusul Sukri. Dia melihat banyak tanda yang menandakan dirinya akan segera menyusul Sukri. Matanya sudah tidak teliti lagi. Rambutnyapenuh uban. Tenaganya sudah tak sekuat sepertidua puluh tahun yang lalu. Kulit yang semakin lama semakin kendor.

Setelah tujuh hari kematian Sukri, mereka berkumpul kembali di warung kopi sendang yang memang tempat favorit untuk mereka. Di sana, mereka merasa lebih muda dari pada hanya duduk manis di rumah.

Memang, di warung tersebut menawarkan kenyamanan tersendiri. Ada dua pohon beringin yang berukuran besar. Ditaksir, pohon itu sudah berumur ratusan tahun. Bahkan, pohon itu sudah ada ketika masa penjajahan Belanda.

Baca Juga :   Cerpen : Negeri Tanpa Senyum

Kakek Rustam pernah bercerita kepadanya, jika kedua pohon beringin itu sudah ada sesudah penjajahan Tentara Nipon dan kemudian masuk Tentara Belanda. Kakek Rustam menyebutnya dengan sebutan “wong londo”.

“Wong londo, membuat loji di sekitar sendang itu. Mereka membuat loji untuk digunakan sebagai tempat penyimpan barang dagangan dan digunakan sebagai lumbung padi.”

Di sekitar pohon beringin itu, sangat sejuk. Sementara di sendang juga berair jernih. Hal ini sangat cocok untuk didirikan warung kopi. Warung itu selalu ramai pengunjung.

Setelah sepeninggalan Sukri, setiap malam, mereka tetap datang ke warung sendang. Pengunjung lain juga ramai. Gelak tawa terdengar nyaring. Tidak usah ditanya apa yang mereka bahas. Yang jelas di pancaran wajah mereka tampak ada beban yang terlepas, meski hanya sesaat.

Rustam, Kasim dan Minto duduk di sebelah barat. Seperti biasa, Rustam yang lebih banyak berbicara dari pada teman-temannya. Banyak pemuda dan orang dewasa yang singgah di warung itu. Di sana, disediakan dua papan catur dan kartu remi.

Seperti biasa, mereka bertiga berkumpul dengan pembahasan yang ngalor-ngidul bin ngelantur. Bayangkan saja, di usia mereka yang bau tanah, masih membahas janda. Hal itu membuat gelak tawa mereka terdengar membahana.

“Jika aku bisa mengawini janda itu, sudah dipastikan anak-anakku pasti tidak akan setuju. Paling-paling mereka akan bilang, siapa yang mau dengan lelaki paruh baya yang sudah tidak ada santannya,” kelakar Minto, disusul gelak tawa Rustam, Kasim.

Semilir angin dari utara berembus. Ranting-ranting saling gemertak. Setelah beberapa waktu, tiba-tiba Kasim kejang-kejang. Seluruh pengunjung warung dibuat kaget luar biasa. Hanya selang beberapa menit yang lalu, Kasim masih tertawa riang dengan celetukan-celetukan khasnya.

Tubuhnya kejang-kejang, bergetar hebat. Matanya mendelik, liurnya keluar dari mulutnya.Warga dibuat panik. Salah satu warga menduga, Kasim mengalami epilepsi kambuhan. Orang itu terus menggoyang-goyangkan tubuhnya. Namun tidak ada perubahan sama sekali. Kasim masih mengalami kejang-kejang. Bidan sudah dipanggil, namun setelah bidan datang, Kasim sudah tiada. Tubuhnya sudah pucat pasi. Rustam dan Minto seperti orang linglung. Tidak percaya apa yang dilihat. Begitu singkatnya, temannya itu mengembuskan napas terakhirnya, tak sampai mendapat pertolongan.

Baca Juga :   Puisi Ujang Saefudin

Mereka berdua mulai cemas dengan nasibnya sendiri. Kedua temannya telah mendahuluinya, mati yang tidak disangka-sangka— kematian adalah hal yang pasti dan tidak pernah ditunda, tanpa mengenal suasana. Jenazah Kasim dipulangkan menggunakan mobil kepala desa.

***

Tinggal mereka berdua yang masih hidup di antara mereka berempat. Rustam dan Minto masih sering mengunjungi warung kopi sendang. Mereka merasa sudah tidak mampu lagi tertawa lepas, membahas janda ataupun tentang sejarah sendang Desa Tinawun.

Mereka berdua lebih banyak diam. Beberapa kali membahas sifat kedua temannya yang sudah berpulang. Mereka rindu dengan celoteh Kasim dan Sukri.

Suatu malam yang dingin, di tempat yang sama, akhirnya Minto menyusul mereka. Sebelumnya, dia sudah mendambakan kematian di tempat teman-temannya meregang nyawa, yaitu di warung kopi sendang. Minto sakit selama beberapa hari, sempat dirawat di rumah sakit. Lalu dirawat di rumah. Mendekati hari kematiannya, dia ingin diantarkan ke di warung kopi sendang. Dengan keadaan sekarat, dia memaksakan mengunjungi tempat itu.

Akhirnya Minto meringkuk tanpa nyawa ditempat itu. Dia mendapatkan kematian yang diinginkannya.

Setelah kematian Minto, Rustam merasa sendiri, meski masih ada keluarga dan kerabatnya. Dia masih tetap berkunjung di warung kopi sendang, meski merasa sendiri. Seperti yang dialami oleh kawan-kawannya, dia juga ingin sekali mati di tempat itu. Menurutnya, di tempat ituseperti halnya padang kurukshetra, orang-orang yang mati di sana akan mendapat kebahagiaan. Pada akhirnya, Tuhan pun mengabulkan keinginannya.Dia mati di sana, dengan posisi duduk di hadapan kopi yang sudah dingin. (**)

*Anas S. Malo, lahir di Bojonegoro. Sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY), belajar di Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta Prodi Teknologi Hasil Pertanian. Karya-karyanya sudah tersiar di media lokal maupun nasional. Finalis National Community Investors Award 2018. Antologi Cerpennya akan diterbitkan Belibis Pustaka yang berjudul Si Penembak Jitu.