Oleh: Denny JA
Sekitar 800 tahun lalu, Jalaluddin Rumi menyatakannya. Kedalaman spiritualitas manusia melampaui jubah formal agama. Kesatuan spiritualitas manusia lebih asli dibanding perbedaan identitas sosial.
Ujar Rumi: “Agamaku adalah Cinta. Setiap hati rumah suciku.” Sambung Rumi lagi: “Kucari Tuhan di Masjid, di Gereja, di Pura. Kutemukan Tuhan di hatiku.”
Bagi Rumi, yang terpenting itu ajaran cinta. Yang lebih penting dari rumah ibadah adalah compassion yang tumbuh di hati. Bukan di Mesjid, bukan di Gereja, bukan di Pura, bukan di organisasi, bukan di lembaga. Tapi Tuhan, sumber kesejatian itu bergetar dan bersemayam di hati manusia, apapun agamanya.
Delapan ratus tahun kemudian, ilmu pengetahuan datang membenarkan renungan Jalaluddin Rumi.
Apapun agama yang dipeluk oleh seseorang, apapun konsep Tuhannya, bahkan jika ia tak pula percaya agama, jika ia mengembangkan compassion merasa satu dengan yang lain, Oneness with All, merasa menyatu dengan semesta, ia akan lebih bahagia.
Apapun agama seseorang, bahkan yang tak beragama sekalipun, jika Ia terus menerus membayangkan sesuatu yang maha besar, yang penuh cinta, yang penuh kasih, yang melindungi, maka hidupnya akan lebih teduh.
-000-
Itulah kesimpulan banyak riset yang dibuat soal happiness.
Pertama, simaklah riset soal rasa menyatu dengan yang lain (the ONENESS). University of Mannheim, Jerman, di tahun 2019, melakukan riset pada 67 ribu masyarakat. Mereka datang dari berbagai background agama. Bahkan banyak pula yang tak lagi percaya pada agama. (1)
Riset dikerjakan dalam dua tahap. Awalnya diukur dulu skala seberapa mereka merasa satu, menyatu dengan manusia lain dan alam semesta. Atau sebaliknya, mereka merasa terpisah, berbeda, terisolasi? Lalu ditanya pula seberapa hidupnya bahagia, bermakna dan puas.
Hasilnya, semakin individu merasa menyatu dengan manusia lain, tak terpisahkan dari alam semesta, semakin ia merasa bahagia. Semakin ia merasa terpisah, terisolasi dari manusia lain dan semesta, semakin ia tak bahagia dan tak puas.
Perbedaan agama, perbedaan persepsi atas Tuhan tidak berbunyi. Perbedaan itu tidak berpengaruh bagi level kebahagiaan. Yang berpengaruh hanyalah sentimen rasa menyatu (ONENESS) atau terisolasi.
Kedua, riset yang dilakukan oleh Dan Gilbert dari Harvard University tentang compassion. Ini tentang rasa belas kasih dan service, sikap membantu, menolong orang lain. (2)
Mereka yang mendapat lotere, jumlah dana yang sangat besar, pastilah akan melonjak rasa senangnya. Tapi rasa senang itu tak bertahan lama. Melalui waktu, rasa senang itu surut kembali kepada baseline. Kembali ke titik mula.
Hal yang sama dengan mereka yang terkena musibah, katakanlah, tiba tiba kakinya lumpuh. Mereka pasti akan sedih sekali dan anjlok. Namun ini juga efeknya tak lama. Melalui waktu, rasa sedihnya menghilang. Dan ia kembali pada baseline.
Yang mengubah kebahagian lebih dalam dan permanen bukan perolehan materi. Bukan pula kondisi fisik. Yang memiliki efek lebih permanen adalah tumbuhnya compassion. Tumbuhnya rasa cinta. Tumbuhnya keinginan menolong. Rasa ini bisa dialami oleh siapa saja, tak peduli apapun agama formalnya.
Ketiadaan cinta dibanding hadirnya cinta jauh lebih berpengaruh efeknya bagi kebahagiaan dibandingkan perbedaan identitas sosial, termasuk agama.
Ketiga, adalah riset yang dikembangkan oleh Ahli Neuro Science: Andrew Newberg dan Mark Robert Waltman. (3)
Mereka awalnya mengeksplorasi hasil riset dari Baylor University. Apapun agama yang dipeluk, setiap individu dapat mengembangkan konsep Tuhan yang berbeda. Baik yang beragama Kristen, Katolik, Buddha hingga Muslim, membayangkan citra Tuhan yang berbeda.
Ada yang mengembangkan citra Tuhan sebagai penguasa yang otoritarian. Ini citra Tuhan yanng terlibat penuh dalam kehidupan tapi banyak menuntut. Tuhan yang banyak memberi instruksi. Tuhan yang memiliki neraka untuk menghukum. Ini jenis Otoritarian God.
Ada juga yang membayangkan Tuhan yang penuh kasih. Ia Tuhan yang terlibat aktif dalam kehidupan tapi penuh pengertian. Tuhan yang penuh cinta. Pemurah. Tuhan yang maha mengampuni. Ini jenis Benovalent God.
Newbergh dan Waltman melakukan pendalaman dengan metode neuro science. Apapun agama individu, bahkan yang tak beragama sekalipun, jika ia membayangkan Benovalent God, Tuhan yang penuh cinta, pemurah, akan muncul reaksi yang membuat rileks syarafnya.
Sekali lagi riset ini menegaskan bahwa perbedaan agama tak penting untuk membuat rasa damai. Yang lebih penting justru bayangan Tuhan seperti apa yang kita tumbuh- tumbuhkan dalam kesadaran. Jika yang kita bayangkan Tuhan yang penuh cinta, apapun agama yang dianut, rasa damai tercipta di pikiran.
-000-
Tiga riset di atas penting untuk beberapa alasan. Riset itu penegas gagasan bahwa manusia itu satu. Homo Sapiens itu satu. Tak bisa kita hindari memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.
Tapi dibalik perbedaan itu, homo sapiens menyimpan persamaan yang lebih dalam: hati yang sama. Mereka sama butuh mencintai dan dicintai. Mereka sama ingin dianggap bagian keluarga besar (ONENESS). Satu homo sapiens, satu pula spiritualitasnya.
Yang penting lagi kesimpulan nilai di atas datang dari riset empirik. Itu hasil metode ilmu pengetahuan. Ini hasil dari narasi besar gelombang ketiga.
Narasi besar gelombang pertama memberikan panduan berdasarkan mitologi. Narasi besar gelombang kedua memberi panduan lewat otoritas wahyu. Sedangkan narasi besar gelombang ketiga memberi panduan berdasarkan riset empirik.
Spiritualitas baru lahir dari hasil riset ilmu pengetahuan. Tentu spiritualitas baru tak pernah berbicara tentang dunia metafisik, seperti apakah surga dan neraka itu ada atau tidak. Itu adalah wilayah narasi besar gelombang satu dan dua.
Spiritualitas baru membatasi diri hanya memberi panduan hidup bermakna, bahagia, berbuat kebaikan yang semuanya semata hasil riset empirik. Tak ada panduan spiritualitas baru tanpa dihasilkan dan terbukti dari hasil riset akademik.
Di akhir buku, akan lebih didetailkan panduan hidup bermakna, berbahagia dan berbuat baik yang komprehensif, multi dimensi dan koheren.
Apakah spritualitas baru akan kering karena tak hendak menyentuh dunia metafisika? Jawabnya: tidak! Dunia metafisika itu wilayah agama. Spiritualiatas baru tidak menggantikan agama.
Dengan dukungan riset akademik, neuro science, narasi besar gelombang ketiga, Renungan Jalaluddin Rumi semakin bergaung: “Agamaku adalah cinta. Setiap hati rumah suciku.”*
Juni 2020
(Bersambung)
Catatan Kaki:
- Riset soal Oneness sengaja mengambil responden dari aneka jenis agama dan paham ketuhanan.
- Riset soal efek compassion bagi happiness dikerjakan oleh banyak lembaga. Ini salah satunya.
- Neuro Science mulai pula meneliti pengalaman religiusitas dan koneksinya dengan sistem syaraf manusia
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/2969114389851357/?d=n