Oleh: Indra J Piliang (Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara, Anggota Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar)
Hingga kini, dalam metodologi kerja seorang peneliti, saya belum mendapatkan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menyulut aksi protes itu. Satu naskah yang idealnya sudah tersebar luas. Paling tidak kepada stakeholders yang memiliki perhatian terhadap masalah perundang-undangan. HIP, bagaimanapun, adalah masalah yang sangat mendasar. RUU HIP muncul sebagai hak inisiatif DPR RI. Namun, seyogianya berasal dari proses demokrasi berbasis multipartai yang tumbuh dari akar umbi elektoral.
Artinya, ada yang terlupa ketika panggung kampanye politik dihelat. Program-program yang jarang ditawarkan. Nukilan-nukilan pikiran yang bakal dibawa ke dalam sidang-sidang parlemen terkunci di mulut. Abstraksi pikiran tak tertebar di kalangan pemilih. Pemilu, seolah manusia lawan manusia, perang antar manusia dengan segala macam kekurangan yang dicungkil-cungkil. Seperti film G30S yang disisipkan adegan-adegan mengerikan yang tak bertemu dalam otopsi para jenderal. Politik cungkilisasi yang berujung kepada kerumunan demi kerumunan manusia yang seperti menghela semacam Lata dan Huza masing-masing pada zaman Nabi Musa dan Nabi Harun. Baliho yang disobek dan dikoyak menjadi berhala-berhala baru yang dijaga satgas-satgas berani mati masing-masing kontestan.
Padahal, fungsi legislasi, fungsi pengawasan, hingga fungsi anggaran yang dipegang DPR RI pada prinsipnya berasal dari butir-butir pikiran yang terserak itu. Tanpa itu, sulit lahir suatu aturan perundang-undangan yang benar-benar kokoh bersandar di punggung rakyat. Kuat menancap dalam pikiran rakyat. Hingga rakyat bersedia bertumpah darah untuk mempertahankannya.
Dokumen Pikiran Ali Murtopo
Penolakan yang bersemangat terhadap RUU HIP sependek pengetahuan saya, tentu berasal dari buta huruf politik yang seakan berjalan sempurna. Atau ingatan saya yang sudah melantur, atau dibilang halu(sinasi) dalam sejumlah serangan di media sosial, setiap kali saya mengungkapkan pendapat yang berbeda. Betapa tidak, seingat saya, upaya untuk “menghidupkan” kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam bentuk yang sekuat era Ketetapan MPR RI sempat dihadirkan. Tanpa GBHN, negara seakan berjalan tanpa pedoman. GBHN-lah yang menandakan apa yang dikenal sebagai Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dalam bahasa Ali Murtopo, menjadi penentu skala prioritas dari periode ke periode.