Oleh: A. Muhaimin DS
“Akhirnya musim hujan yang ditunggu-tunggu datang juga.” Kata Mamat setengah berbisik pada Slamet yang duduk di sampingnya. Warga Kampung Gusuran malam ini sedang berkumpul di Balai Pertemuan. Mereka semua datang dengan wajah cemas. Tak terkecuali Slamet, yang akhirnya menimpali Mamat yang sedari tadi mengajaknya bicara. “Iya, musim hujan memang sudah datang. Tapi, karenanya kita semua menjadi resah seperti ini.”
Aroma tanah yang basah oleh air hujan sore tadi masih segar terbawa angin. Mengiringi warga kampung Gusuran menuju Balai Pertemuan. Di sana Pak Lurah dan perangkatnya telah siap menyambut wajah warganya yang penuh kecemasan. Pertemuan itu pun sebenarnya bukan dari inisiatif Pak lurah dan perangkatnya. Melainkan desakan dari warga yang mulai ketakutan atas teror yang terjadi seminggu ini.
Teror itu datang bersamaan dengan rintik hujan yang mulai turun secara rutin seminggu ini. Alih-alih berbahagia karena musim hujan yang ditunggu-tunggu itu datang. Membawa suasana baru yang awalnya sangat panas, berubah menjadi lebih sejuk dan tak lagi kekurangan air. Warga Kampung Gusuran justru memasuki kondisi hidup yang serba terancam.
“Apa pertemuan ini penting bagi kita?”
“Tentu saja penting. Apa kamu mau menjadi seperti Dara dan Luka yang mati mendadak?”
“Tentu tidak. Apa lagi mati akibat digigit ular saat tidur.”
“Makanya nanti kita cari solusi bersama untuk menanggulangi para ular yang menyerang kampung kita ini.”
***
Pagi itu Sumiati yang sedang masak di dapur sedikit heran. Dara putri tercintanya belum juga bangun dan membantunya di dapur. “Tidak biasanya anak ini bangun kesiangan” gumamnya sendiri pagi itu. Sambil melanjutkan memasak ia coba memanggil Dara dengan setengah berteriak. “Bangun nak!, tolong belikan ibu garam!”
Dara memang seorang anak yang rajin. Tak jarang ia justru bangun lebih pagi dari ibunya. Memang untuk memulai memasak tetap saja menunggu ibunya bangun. Dara biasanya bangun di sepertiga malam untuk mengerjakan tugas sekolahnya. Alasannya sangat sederhana, ia yang merupakan sulung dari tiga bersaudara itu harus mencari waktu yang sepi untuk belajar. Dan itu saat adik-adiknya tidur.
Sumiati pun tak berpikir Dara benar-benar belum bangun. Bahkan dikiranya Dara sudah bangun, tapi masih menyelesaikan tugas sekolahnya. Ia pun memanggilnya lagi. “Nak, ayo bantu ibu masak!”
“Bu, ya jangan teriak-teriak. Malu didengar tetangga”
“Lha iya pak, Dara kok belum bangun ya?”
“coba bapak lihat dulu bu.”
***
Sehari sebelum digelarnya pertemuan malam itu. Luka seorang anak kebanggaan warga Kampung Gusuran meregang nyawa saat bermain bola. Bukan karena terjatuh atau saling berbenturan dengan kawannya. Seperti yang biasa terjadi pada kecelakaan saat bermain bola.
Semua itu terjadi saat pertandingan final turnamen sepak bola antar kampung di kecamatan Usiran. Kampung Gusuran saat itu sedang memimpin pertandingan dengan skor 1-0 dari lawannya Kampung Tega. Namun hal yang tak diduga-duga itu terjadi. Saat berlari menggiring bola menuju gawang lawan. Berusaha menerobos benteng pertahanan lawan dari sisi kiri lapangan, Luka tiba-tiba terpental karena kalah bodi dengan pemain bertahan Kampung Tega. Akibatnya ia tersungkur sampai ke pinggir lapangan. Wasit meniupkan peluit dan menganggap pemain bertahan dari Kampung Tega melakukan pelanggaran pada Luka. Ia kedapatan menghalau tubuh Luka dengan sikunya.
“Ayo cepat bangun Luk!” teriak Andi yang sudah menata bola dan siap melakukan tendangan bebas. Aneh Luka yang biasanya paling sportif soal menghargai waktu tak pernah terlihat seperti itu. kalau tidak benar-benar cidera parah, ia tidak akan pernah berniat mengulur waktu, meskipun posisi timnya sudah unggul.
“Hei, kenapa?”
“Tolong, tolong, tolong…” sambil melambaikan tangan Luka mencoba berteriak dengan suara sangat tertekan. Napasnya terlihat sesak. Tubuhnya tiba-tiba lemas.
“Butuh tim medis, cepat!!!” Andi memberi isyarat pada tim medis.
Tim medis pun lari dengan membabi buta. Sebuah keadaan genting yang tak pernah diharapkan siapa pun. Luka yang mulai terkulai lemas ditandu ke tepi lapangan. Pertandingan pun akhirnya dilanjutkan lagi.
“Prittttt….” peluit wasit memberi tanda untuk Andi melakukan tendangan bebasnya.
Andi kegirangan dan reflek ia bersujud syukur di lapangan. Tepat di mana Luka terjatuh karena dilanggar oleh pemain lawan. Diikuti oleh beberapa pemain lain pun melakukan sujud syukur di samping Andi.
Saat mau bangun dari sujudnya. Andi sangat kaget belasan ular tampak menggeliat di bawah pembatas lapangan. Tanpa berpikir panjang Andi berlari keluar lapangan. Mencari Luka yang sedang ditangani tim medis.
“Ada ular di sana”
“Ular apa?”
“Aku tak tahu”
Tim medis yang masih saja mendiagnosa cidera apa yang dialami Luka terlihat bingung. Lalu memeriksa tangan Luka dan didapatilah gigitan ular. Dengan cekatan akhirnya mereka menyiapkan kendaraan untuk melarikan Luka ke puskesmas.
Lebih dari 30 menit sudah berlalu. Perjalanan menuju puskesmas tak semulus angan tentang juara turnamen yang sudah di depan mata. Luka terlambat mendapat penanganan medis. Bisa ular yang menggitnya telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia gugur membela tim sepak bola Kampung Gusuran dan menjadi juara pada turnamen itu. Namun semua warga Kampung Gusuran justru merasakan duka yang mendalam atas kepergian Luka, dan melupakan gelar juara.
***
Pagi itu tangis Sumiati pun pecah. Ia terkulai lemas melihat buah hatinya terbujur kaku di atas tempat tidurnya. Sedangkan Karni masih saja memaki ular kobra yang ia pukul-pukul dengan sebilah bambu di samping ranjang Dara tidur. Ular itu gepeng dan tak kuasa melawan amarah Karni dan ular itu terkulai lemas. Mati seperti Dara yang juga kehilangan nyawa karena gigitannya.
***
Karni dan Sumiati sepakat untuk menuntut kejadian ini ke Pak Lurah. Pasalnya semenjak kejadian yang telah dialami Luka dan Dara, Kampung Gusuran pun semakin sering dikejutkan dengan penemuan-penemuan ular kobra di sekitarnya rumah warga.
“Ini tidak bisa dibiarkan.”
“Pasi ini ada sangkut pautnya dengan lahan sawah yang dialih fungsikan menjadi pabrik sepatu.”
“Ini jelas salah Pak Lurah dan perangkatnya.”
“iya, mereka yang memberikan ijin pada perusahaan itu.”
“Malam ini, semua harus jelas.”
“Tidak boleh ada korban gigitan ular lagi.”
Rintik hujan malam itu pun kembali turun. Sedikit bergetar, suara Pak Lurah mulai terdengar membuka pertemuan malam itu. Sebagian dari kewibawaannya memang sudah terkikis karena tingkahnya yang semena-mena. Menghilangkan persawahan yang mengelilingi kampung Gusuran. Mengubahnya menjadi pabrik yang hanya memberikan janji ganti rugi pada warga yang sawahnya diambil alih pabrik. Kenyataannya ganti rugi itu cepat menguap bagai air yang terkena panas.
Uang-uang ganti rugi itu telah mengubah warga menjadi sok kaya. Mereka membeli barang-barang yang belum tentu ia butuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Entah dulu kenapa kok kita mengikuti saran Pak Lurah?” seorang warga mulai mengajukan protes pada Pak Lurah. Lalu disusul protes-protes yang muncul dari warga yang lainnya. Semuanya menyerang pribadi Pak Lurah yang mulai tertunduk pandangannya.
***
“Bapak Ibu sekalian. Saya di sini diundang Pak Lurah untuk memberikan pengetahuan cara menangani ular kobra.” Seorang berbaju rapi itu ternyata dari pihak pemerintah kecamatan. Tujuan Pak Lurah memang baik untuk antisipasi sementara tentang teror ular kobra yang menyerang Kampug Gusuran.
Sedangkan Maman dan Slamet di belakang mencoba menyulut rokok. Keduanya tak sedikit pun ikut berkata-kata mengajukan protes atau memaki Pak Lurah. Keduanya tahu kalau sawah memang tempat ular-ular itu hidup. Karena diubah menjadi pabrik, ular-ular itu akhirnya mencari tempat untuk bertelur dan mencari makan di sekitar rumah warga.
“Mat, mungkin ular-ular itu ingin bertamu dengan kita warga Kampung Gusuran?”
“Iya Met, bisa jadi mereka datang mau menuntut balas karena tempat tinggalnya telah diubah menjadi pabrik.”
Tanpa mereka sadari, yang sedang mereka bicarakan ternyata menyelinap di balik kursi megah yang diduduki Pak Lurah. Seolah mereka juga ingin membantah, protes, bahkan menyangkal apa yang dikatakan orang-orang malam itu. Apalah daya, mereka tak punya kuasa. Merintih dan disalahkan, tapi dituntut untuk tetap diam.
Nganjuk, 2020
—
A. Muhaimin DS , lahir di Nganjuk (Kota Angin). Seorang penikmat cerita dan penyuka perjalanan. Menulis cerpen, puisi dan catatan ringan tentang kesejukan hidup.