Cerpen : Bantal dan Guling

oleh
Ibrahim Guntur Nuary

Oleh: Ibrahim Guntur Nuary

Sepanjang jalan Mawar menjadi saksi bisu perjalanan Fahmi, seorang paruh baya yang hampir setiap hari mengelilingi jalan tersebut sambil berharap ada seseorang yang membutuhkan dagangannya. Langkah kakinya tidak sekuat dulu tapi karena tekadnya dan orang rumah menunggu kebahagaiaan ketika ia pulang, maka ia harus tetap semangat walaupun terkadang pundaknya merasakan beban yang lumayan berat untuk diangkatnya. Mulai dari jam tujuh pagi ia mulai berkeliling, pertama ia akan berkeliling di jalan-jalan pedesaan rumahnya lalu jalan terakhir adalah jalan Mawar.

Pagi ini bagi Fahmi terasa berbeda, anak semata wayangnya, Rani. Ia akan menempuh ujian nasional beberapa hari ini, Fahmi hanya bisa memberikan semangat untuk selalu belajar dengan baik dan berdo’a sebelum mengerjakan soal. Fahmi percaya kepada anaknya itu, Rani memang termasuk kategori anak yang cukup pintar di kelasnya dengan selalu masuk rangking lima besar.

“Aku hari ini sampai tiga hari ke depan Ujian Nasional pak, mohon do’anya pak” Sambil berpamitan dengan menyium tangan bapaknya.

“Bapak do’akan semoga kamu lulus dengan nilai yang baik” Mengelus kepala anaknya. “Kamu udah sarapan nak?” Tanya Fahmi.

“Udah pak tadi sama ibu, kok tumben bapak enggak ikut sarapan bersama?” Rani balik bertanya.

“Bapak udah makan semalam, jadi paginya masih kenyang, udah sana berangkat nanti telat loh” Sambil mengangkat dagangannya.

“Iyah pak, Assamu’alaikum” Rani berlalu dengan wajah cerianya dengan melambaikan tangan.

“Wa’alaikumsalam” Fahmi membalas lambaian tangan anaknya.

Sebenarnya bukan karena kenyang Fahmi jadi tidak makan pagi ini, sebenarnya lauk yang ada hanya untuk berdua saja, Fahmi membiarkan istrinya dan anak semata wayangnya untuk mengisi perut mereka sedangkan Fahmi bisa menunggu hingga makan siang menyapa, itu pun jika dagangannya ada yang laku, kalau tidak ia terpaksa berpuasa, yang terpenting anak dan istrinya bisa makan dengan baik.

Fahmi mulai berjalan dengan kuatnya menatapi satu demi satu aspal yang sudah diinjaknya. Dengan sedikit teriakan yang tidak terlalu keras, ia mulai mengadu nasib hari itu, di perjalanan dengan modal teriakan, ia mulai berdo’a dalam hati semoga hari ini ada yang mau membeli dagangannya walaupun hanya satu yang terjual.Untungnya Fahmi mempunyai beberapa langganan, salah satunya pak Jajang. Pak Jajang hampir sebulan sekali membeli bantal dan guling. Dengan hati yang was-waskarena ini adalah akhir bulan, semoga pak Jajang membeli dagangannya. “Bantaaaallllll, guliiiinnggg” Fahmi dengan sengaja berteriak sambil melewati rumah pak Jajang yang lumayan besar.

Baca Juga :   Cerpen: Tamu Itu Datang Menuntut Balas

“Pak Fahmi, bantal pakkk” Teriak Pak Jajang dari balik pintu rumah.

“Siap pak” Fahmi mendatangi rumah pak Jajang. “Bapak mau yang mana, ini baru datang kemarin, di pilih aja pak” Fahmi menaruh dagangannya dan mempersilahkan pak Jajang memilih.

“Sehat pak Fahmi? Udah lama yah kita gak ketemu” Menyalami Fahmi sambil memilih bantal dan guling.

“Iyah pak, bapak kan jarang di rumah yah?” Fahmi bertanya.

“Iyah pak, kadang harus dinas ke luar kota mengurusi proyekyang belum kelar, saya ambil yang iniyah pak, bantalnya dua dan gulingnya dua, jadi berapa pak? Tanya pak Jajang.

“Semuanya jadi seratus ribu pak” Jawab Fahmi sambil menghitung harga bantal dan guling.

“Ini pak, pegang aja” Pak Jajang memberikan amplop yang berisi pecahan lima puluh ribu sebanyak 10 buah sambil berlalu ke arah rumahnya

“Pak ini kok tebal banget amplopnya, kebanyakan pak”Fahmi mencoba mengejar pak Jajang yang masuk ke rumah.

Fahmi mencoba mengetuk-ngetuk pintu rumahnya namun pak Jajang tidak kunjung keluar, mungkin uang yang ada di amplopnya adalah rezeki bagi Fahmi. Ia menyobek pelan-pelan amplop itu lalu melihat sepucuk tulisan dan uang lima puluh ribu sebanyak 10 buah. Betapa kagetnya dan terharunya Fahmi. Lalu ia membaca isi surat tersebut,

Bapak itu orang baik dan rela berkorban demi keluarga, mohon diterima yah pak uang dari saya, karena saya baru saja dapat proyek yang cukup besar, itu rezeki untuk bapak dan keluarga.

Isakan tangis dan percaya tidak percaya menyeruak dalam batinnya, ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan uang sebanyak itu, lantas Fahmi langsung sujudsyukur dan berterima kasih kepada yang maha Esa.Air mata kebahagiaan yang masih mengalir di pipinya membuatnya bersemangat,lalu ia bangun dari sujudnyadan bergegas kembali menjajakan dagangannya sambil mencari warteg karena ia begitu lapar.di perjalanan, ada seorang ibu-ibu memanggil dirinya untuk membeli bantal, senang sekali Fahmi hari ini dagangannya laku terjual walaupun belum semuanya. Tidak jauh dari ibu-ibu yang memanggil dirinya untuk membeli bantal, terlihat warteg dengan cukup banyak masakan yang disajikan.

Baca Juga :   PUISI : Ujang Saepudin

Fahmi mampir untuk mengisi perutnya yang sangat keroncongan, ia memilih lauk sayur bayam, telur balado, dan orek untuk makan siang kali ini. Ia juga tidak lupa untuk membungkus beberapa lauk pauk dan nasi untuk istri dan anaknya.Setelah selesai makan siang, ia kembali mengitari jalan yang harus ia lewati, jalan yang harus ia lewati tinggal dua jalan lagi, jalan Anggrek dan Mawar lalu pulang ke rumahnya.

Perasaan yang sama menyeruak dari dalam batinnya, semoga ada orang yang mau membeli dagangannya.Klakson motor dari belakang mengagetkan Fahmi, ia menyangka membuat kagok pengendara sepeda motor, ternyata pengendara sepeda motor tersebut membunyikan klaksonnya supaya Fahmi menepi. Fahmi dan pengendara sepeda motor tersebut menepi. Perasaan lega menyeruak dari dalam dadanya untuk kesekian kalinya, ada lagi datang pembeli. Satu bantalnya kembali terjual. Fahmi menopang kembali dagangannya di pundak yang tidak sekuat dulu, untungnya beberapa bantal dan guling sudah terjual, jadi tidak terlalu berat untuk dipikulnya.

Fahmi menyebrang di persimpangan untuk melewati jalan Mawar, jalan terakhir yang harus ia lewati, jalan ini merupakan jalan terdekat kerumahnya.Badan yang penuh keringat dengan sesekali ia mengusap wajahnya pun tidak terasa basah karena ia cukup puas dengan hasil dari dagangannya yang laku, terlebih mendapatkan banyak rezeki dari pak Jajang yang membuat langkah kakinya semakin kuat.Jalan Mawar sudah dilewati, Fahmi belok ke kiri dan masuk ke gang yang tidak begitu lebar dan mendapati rumah yang tidak begitu bagus namun masih layak untuk ditinggali. Ia datang dengan wajah sumringah untuk istri dan anaknya.

Baca Juga :   Puisi Tino Watowuan

“Assalamu’alaikum” Fahmi mengucap salam.

“Wa’alaikumsalam, ibuuu, bapak udah pulang” Teriak Rani memanggil ibunya yang berada di kamar.

“Nih lauk dan nasi buat makan malam” Fahmi memberikannya kepada Rani. “Kamu gimana ujiannya? Tanya Fahmi penasaran.

“Banyak banget pak asyikkkk, Alhamdulillah pak bisa berkat do’a bapak dan ibu, oh iyah pak, guru Rani mendaftarkanku beasiswa kuliah, semoga Rani bisa diterima pak” Seru Rani dengan wajah yang merona dan senang.

“Bapak do’akan semoga kamu diterima, InsyAllah anak pintar sepertimu ada jalan” Sambil memeluk anak kesayangannya itu.

Istrinya datang dari kamar dengan wajah muram.

“Ibu kenapa? Belum ada yang bisa di masak yah? Ini bapak bawain lauk” Sambil menunjuk lauk yang dipegang oleh Rani.

“Iyah pak, telur dan beras juga udahabis” Sambil menyium tangan suaminya. “Bapak gimana dagangannya?”

“Alhamdulillah laku terjual walaupun gak semuanya, telur dan beras kita beli malam ini yahbu, Alhamdulillah juga bapak dapet rezeki dari pak Jajang karena ia dapet proyek cukup besar, ini uangnya pegang sama ibu aja” Mengeluarkan amplop dari tas kecilnya.

“Alhamdulillah baik banget pak Jajang, ya Allah pak ini uangnya banyak banget” Istrinya meneteskan air mata seakan tidak percaya.

“Masih ada orang baik di sekitar kita bu, biar Allah yang membalas kebaikan pak Jajang, aamiin” Sambil mengusap muka.

Fahmi akan terus membuat keluarga kecilnya bahagia dengan apapun yang ia bisa lakukan, untuk sementara ini yang ia lakukan adalah berjualan bantal dan guling, walaupun terkadang kurang tapi Fahmi mengajarkan kepada keluarganya untuk tetap bersyukur. Karena rasa syukur akan membuat segalanya menjadi nikmat.


*Penulis adalah Peraih Golden Generation 2017 dan Wisudawan Berprestasi 2018 IAIN Syekh Nurjati Cirebon Serta Kolumnis Media Massa Nasional.