Oleh: Harishul Mu’minin
Burahwi sedang tersadai di bangku taman depan rumahnya sembari menatap kolong langit bersih bertabur manik-manik menyala. Membentuk sebuah formulasi indah megelilingi bulan. Saat itu dia seorang diri di tempat tersebut.
Malam itu suhu udara agak dingin. Tadi sore hujan turun begitu derasnya sampai jam 19.43 baru berhenti. Beberapa hari ini hujan sering kali turun. Membuat Burahwi enggan untuk keluar di malam hari—sekadar mengopi bersama teman-temannya. Di tambah dengan kondisi jalan yang becek, membuat dia semakin malas untuk keluar rumah.
Dari jauh terdengar sayup-sayup suara ayam berkokok. Menandakan malam mulai bertambah larut. Burahwi beranjak dari bangku, masuk ke dalam rumahnya. Rasa kantuk mulai menggerogoti pikirannya. Tapi bunyi cacing dalam perutnya membuat dia harus memasukkan sesuatu—entah itu makanan atau minuman—agar bunyi cacing tersebut mau berhenti.
Kemudian dia melangkah masuk ke dapur: mengambil satu botol air dan menenggaknya separuh. Namun bunyi cacing dalam perutnya terus saja berbunyi. Sepertinya cacing itu tidak bisa hanya di beri setengah botol air untuk berhenti berbunyi.
“Ah, sialan.” Gerutu Burahwi.
Sementara mulut Burahwi tak henti-hentinya menguap. Rasa kantuknya semakin menjadi-jadi, pun bunyi cacing dalam perutnya. Dia berpikir kalau tidur dengan perut yang kosong, tidurnya akan tidak nyenyak. Dia perlu mengisi perutnya agar nanti bisa tidur dengan nyenyak dan bermimpi indah. Ya, Burahwi perlu mengisi kekosongan perutnya terlebih dahulu sebelum tidur.
Menggunakan motor supra, Burahwi ke luar rumah barang sejenak untuk membeli makanan di kedai-kedai yang masih buka. Meskipun sebenarnya dia malas untuk ke luar rumah. Tapi apalah daya, cacing di dalam perutnya tidak bisa diajak kompromi. Cacing itu terus berbunyi seolah-olah meminta diberi makanan.
Dengan laju motor yang lambat, pandangan Burahwi melirik ke kiri-kanan jalan. Mencari kedai yang belum tutup.
“Nah, itu dia,” ucap Burahwi setelah menemukan kedai yang masih buka. Dia langsung mengenyampingkan motornya di dekat kedai tersebut. Setelah itu dia masuk dan memesan satu piring nasi dan segelas teh hangat.
Burahwi makan dengan lahapnya. Dia menambah satu sendok sambal lagi sebelum nasinya habis. Kebiasannya memang begitu saat makan.
***
Sepulangnya makan dari kedai, Burahwi merasa tenang. Karena cacing dalam perutnya sudah berhenti berbunyi. Dia berpikir malam ini akan tidur nyenyak tanpa ada gangguan dari bunyi cacing dalam perutnya.
Angin berdesir kencang. Manik-manik menyala yang bertaburan di langit sana tadi sudah tak terlihat, pun juga bulan yang tertutup awan hitam. Awan hitam itu seakan malas untuk beranjak. Sekarang langit sudah rata tertutup oleh awan. Sepertinya hujan akan turun lagi, pikir Burahwi.
Dia mempercepat laju motornya. Terdengar suara guntur dari atas sana. Gerimis turun perlahan dari rahim cakrawala. Sebuah kilatan terlihat jelas oleh dua bola mata Burahwi. Dia semakin mempercepat laju motornya agar segera sampai ke rumah. Dia tak mau kehujanan malam-malam begini. Apalagi katanya air hujan tidak baik bagi kesehatan tubuh.
Laju motor Burahwi semakin cepat. Tepat ketika dia beberapa meter lagi berbelok ke arah jalan rumahnya, tiba-tiba seekor kucing melintas di depan motor Burahwi. Dia tidak bisa mengendalikan laju motornya, hingga akhirnya kucing tersebut terlindas.
Hampir saja Burahwi terjatuh kalau saja tak cepat-cepat menginjak pedal rem. Jantungnya berdegup kencang karena tiba-tiba kucing tersebut melintas dan terlindas oleh motornya. Dia menoleh ke belakang Sambil memicingkan mata. Terlihat darah mengalir dari tubuh kucing tersebut.
“Sialan!” Umpat Burahwi.
Mesin motor dimatikan. Burahwi menaruh motornya di pinggir jalan. Gerimis masih turun perlahan. Dia melangkah menghampiri kucing nahas itu.
“Tampaknya kucing sialan ini sudah mati,” pikir Burahwi. Dia teringat perkataan mendiang ibunya tempo dulu. Bilamana ada seseorang yang menabrak kucing, dan kucing tersebut mati, maka orang yang menabrak kucing tersebut harus menguburnya dengan baju yang dia pakai saat kejadian. Bila tidak, pasti suatu hari nanti orang tersebut akan celaka.
Sampai saat ini Burahwi masih ambigu tentang hal itu. Masak kucing bisa membuat orang celaka? Bukankah Tuhan yang sudah menentukan celaka atau tidaknya Setiap orang? Tanya Burahwi yang entah kepada siapa.
Terbesit dalam benak Burahwi untuk meninggalkan kucing itu begitu saja—membiarkan tergeletak di tengah jalan. Tapi dia masih teringat perkataan mendiang ibunya. Tak mungkin seorang ibu berbohong kepada anaknya sendiri demi keselamatannya. Burahwi masih berdiri mematung sambil menatap kucing sialan itu. Dia masih berpikir dan menggaruk-garuk kepala.
Dia melihat bajunya. Sial bagi Burahwi, baju yang dia pakai merupakan baju kesayangannya yang diberikan oleh mendiang ibu saat hari ulang tahunnya.
“Waduh, bagaimana ini. Masak baju kesayanganku harus dikubur bersama kucing sialan itu? Ah, dasar kucing sialan!,” umpat Burahwi sekali lagi.
Dia sedang berpikir untuk mengmbil sebuah keputusan. Burahwi masih saja berdiri mematung dekat kucing. Angin berdesir agak sedikit kencang daripada yang sebelumnya. Suara guntur masih terdengar di atas sana. Dari arah selatan ada pengendara motor yang melintas, kemudian berhenti melihat Burahwi yang berdiri di tengah jalan.
“Eh, Mas, bosan hidup, ya?” Tanya pengendara motor itu
“Matamu.” Jawab Burahwi spontan.
“Lah, terus, mengapa Mas berdiri di tengah jalan?”
“Ini, saya habis menabrak kucing,” sambil menunjuk ke arah kucing itu.
Pengendara motor terlihat biasa-biasa saja dengan kucing yang sudah mati, “O, kucing,” ucap pengendara motor sambil lalu pergi.
Dan tanpa pikir-pikir lagi Burahwi mengambil kucing itu dan membawanya ke pinggir jalan. Dia mengambil kayu yang ujungnya runcing yang akan digunakan untuk menggali. Tanah yang lembap membuat Burahwi mudah untuk membuat sebuah lubang. Dia terus menggali sampai lubang itu dalam dan berbentuk persegi.
Tempat untuk mengubur kucing sudah jadi. Sesaat Burahwi diam. Dia melihat baju kesayangannya dan kucing sialan tersebut. Keringat mengalir di kening Burahwi. Sepertinya dia harus merelakan baju kesayangannya untuk dikubur bersama kucing. Dia berpikir kalau baju bisa dibeli lagi. Sedangkan keselamatan tidak bisa dibeli. Ya, kali ini Burahwi harus bersikap lebih dewasa.
Lalu dia membuka bajunya dan membungkus kucing tersebut. Kucing pun dikuburkan. Burahwi menghela napas panjang. Sekarang dia hanya mengenakan celana pendek. Setelah selesai mengubur kucing, dia kembali ke motornya.
***
Kini gerimis telah berubah menjadi hujan yang sangat lebat. Burahwi dengan cepat melajukan motornya. Sedikit lagi dia akan sampai ke rumah. Namun tiba-tiba dia dikagetan lagi dengan seekor kucing yang melintas di depan motornya. Beruntung Burahwi cepat-cepat menginjak pedal rem. Motor berhenti. Dari raut wajah Burahwi, dia terlihat kesal.
“Kucing sialan!” Pekiknya.
Kutub, Yogyakarta2020
Harishul Mu’minin, Kelahiran Sumenep 12 Mei 2001. Anak dari seorang Nelayan di pulau garam. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah. Sekarang nyantri di PPM. Hasyim Asy’ari Yogyakarta. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)