Cerpen : Seperti Cinta, Dendam Harus Dibalas

oleh
Fahrul Rozi

Oleh : Fahrul Rozi

Tidak ada yang tahu Jo pergi ke mana. Tetangga—yang sangat dekat tidak menyapa ketika Jo melintas di depan rumahnya. Tidak ada yang berani menyapa. Bahkan Ustaz Ahmad pun hanya mengucapkan istiqfar berkali-kali. Ya, semua warga di kampung Jode tidak ada yang berani. Mungkin karena Jo menyampirkan parang di punggung, dan dia berjalan pongah.

Tidak biasanya—Jo berbuah menjadi pemberang. Wajah polosnya mendadak angkuh dan bengis menakutkan warga kampung Jode. Anak-anak yang sedang bermain di pematang sawah lari terbirit melihat Jo. Matanya, o, tidak ada yang setajam matanya. Atau dengan jalannya yang tegap, menggoyangkan mahluk-mahluk lemah yang berdiri ketakutan.

            Andai Jo tidak menghindar dari pohon di depannya, pohon itu bisa jadi tumbang karena saking kuatnya. Atau ketika ia menoleh ke suatu, seperti ada kilatan menyambar pada yang dilihatnya. Tidak biasanya Jo begitu. Gou teman dan juga tetangga Jo terkejut melihat perubahan Jo pagi itu. Dia pergi tanpa berbicara sesuatu, pergi tanpa menitip pesan. Dia pergi menyampirkan parang di punggungnya.

            “Kau tahu ke mana Jo pergi?”Seorang lelaki bercaping datang bertanya.

            “Tidak.” Jawab Gou.

            “Kau belum tahu kejadian semalam?” Seorang pemuda lain datang bertanya. Kali ini kata terakhir berdesis.

            “Anggota keluarganya diculik oleh orang tak dikenal.”

            “Bernarkah? Kau melihatnya sendiri?” Gou memburunya.

            “Tidak, aku tidak melihatnya. Tapi seorang penjaga kardu, yang kita amini sebagai orang terpercaya mengatakan seperti begitu.”

“Apa mungkin Jo akan membunuh mereka?”

            “Bisa saja, toh kau lihat sendiri dia membawa parang.”

            “Tidak. Dia tidak mungkin … Aku yakin dia tidak akan membunuh.” Gou berlalu meninggalkan dua pemuda sambil berkata, “Jo pernah bilang sendiri padaku, membunuh adalah cara kuno.”

            Gou tahu betul siapa Jo. Dia tidak mungkin akan melakukan hal yang dianggap kuno. Tapi, untuk apa dia membawa parang di pagi hari? Bukankah dia tidak bisa memotong kayu, bukankah dia tidak bekerja seperti orang kampunya. Dia cuma lulusan pesantren yang kesehariannya mengaji, dan beribadah. Apa mungkin diam-diam dia menyembunyikan keahliannya. Bisa saja, akan tetapi Gou tidak begitu yakin. Toh Jo tidak pernah keluar rumah kecuali membeli beras atau keperluan material lainnya. Namun, bisa saja dia menyembunyikan keahliannya.

Baca Juga :   Cerpen : Sejarah Sepasang Sayap

            Ustaz Agu, guru ngaji Jo saat kecil hanya menerka-nerka bahwa Jo sedang pergi ke hutan untuk menebang pohon. Ia tidak tahu betul bagaimana sifat Jo yang sebenarnya, sebab saat Jo kecil pun Ustaz Agu jarang melihatnya mengaji. Jo hanya mengaji ketika bersama Ko, adik sepupunya—yang kata warga, orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Dan ketika Ustaz Agu melihat Jo membawa parang, ia bergidik, ia menghilangkan rasa takut itu sembari membaca istiqfar. Ia tahu, Jo tidak akan berbuat macam-macam. Ia hanya pergi ke hutan untuk memotong kayu.

            Tidak ada yang tahu ke mana perginya Jo. Rumahnya sudah tak berpenghuni. Dan hampir mirip rumah hantu. Sudah dua bulan Jo belum kembali. Kampung Jode menjadi resah ketika seorang kurir pos mengirimkan satu bungkus besar yang ditujukan untuk Jo.

***

            Entah mengapa Gou berubah pikiran. Ia meyakini bahwa Jo akan membunuh mereka. Atau mereka yang membunuh Jo. Bisa saja. Dunia memang dijajah kekejaman. Tanpanya dunia seperti tanah kosong. Hampa. Gou mendapati jari-jari manusia yang sudah dicincang menjadi bagian kecil. Juga terdapat surat kecil yang dituliskan menggunakan darah.

            “Mengapa kau tidak bekerja?” tanya Gou jauh hari sebelum Jo pergi.

            “Tubuhku lemah, tidak seperti yang lain,”

            “Aku punya empat adik, dan itu masih kecil semua. Kerjaanku hanya menjaganya sampai mereka benar-benar tidur.”

            “Mengapa kau tidak mengajar di madrasah saja?”

            “Aku tidak punya pengalaman menjadi guru. Rasanya … aku tidak memilki keahlian apa pun,”

            “Tidak, tidak. Kau salah Jo, setiap manusia memiliki keahlian masing-masing. Kau hanya perlu mencari, dan mencari.”

            Gou teringat Jo. Kali ini pikirannya kacau antara yakin atau tidak. Gou berlari membawa parang. Sekejap bayang-bayang algojo memotong jari-jari manusia. Menjadikannya beberapa bagian yang kemudian dimasukkan dalam kotak. Warga desa tidak tahu Gou pergi ke mana, sebab ia pergi saat malam buta. Ketika orang-orang terlelap dan paginya Gou sudah tak terlihat. Ia seperti angin, berhembus lalu hilang.

Baca Juga :   Cerpen: Bumi Hanya untuk Lelaki

            Hampir dua hari dua malam Gou belum kembali, warga mulai resah karena takut pemuda kampung yang lain ikut pergi membawa parang sama seperti Gou dan Jo. Dua pemuda yang menjadi contoh di kampung Jode.

Di kampung Jode, Ustaz Agu mengadakan doa bersama warga setiap hari, berdoa di bawah atap masjid berlubang. Semua menjadi syahdu, duyun-duyun melayu, dingin mereyap pelataran masjid. Warga mengamini doa-doa Ustaz Agu. Semua bersedih, dan teringat dua pemuda yang pergi.

            Selepas berdoa, mereka semua kembali ke rumah masing-masing. Satu-persatu warga hilang dari kegelapan malam yang menyisakan Ustaz Agu dan beberapa lelaki di pelataran masjid. Wajah Ustaz Agu memerah mendengarkan obrolan pemuda yang berapi-api. Ustaz Agu seperti tidak percaya apa yang dibicarakan pemuda tersebut. Tidak berhenti—berlanjut pada pemuda yang lain, ia mengiakan apa yang temannya katakan bahwa mereka melihat dengan mata sendiri, Jo menebas tubuh seorang lelaki berkalung rantai di sebuah rawa pada malam hari.

***

            Saat itu Galih dan Bayu berangkat ke hutan. Telah jauh hari mereka berencana mencari burung hantu untuk nanti mereka jual. Pemburuan itu dimulai saat semua warga tidur menyisakan penjaga kardu yang menguap saat mereka lewat. Mereka memasuki hutan lebih dalam, melewati sungai kecil, menyibak ilalang dan sampai pada perbatasan hutan. Hutan yang katanya menelan orang. Katanya, bila seorang masuk hutan itu mereka tidak akan bisa kembali. Begitulah kata warga.

            Namun, dua pemuda itu tidak mempedulikannya. Mereka masih belum menemukan burung hantu yang mereka cari. Mereka memutuskan tidak akan pulang sebelum dapat burung yang mereka inginkan.

            Tapi tidak jauh dari pohon beringin sebuah erangan manusia, sangat pilu tidak lama terdengar. Sayup-sayup seorang tertawa. Dua pemuda itu mengintip dari balik ilalang. Seorang lelaki, yang sudah lama tidak kembali ke kampung. Dua pemuda itu menatapnya ngeri. Pelan-pelan mereka pergi meninggalkan.

Baca Juga :   Kepulauan Riau Diserang Para Penyair dari Berbagai Negara di Asia Tenggara

            Selepas Galih dan Bayu bercerita. Ustaz Agu berdoa.

            “Semoga Tuhan melindunginya,” lirih Ustaz Agu dan mereka mengamininya. Namun, dua pemuda itu melongo, lantas bertanya.

            “Mengapa kita harus mendoakan pembunuh?” Ustaz Agu tersenyum.

            “Karena Tuhan tidak memandang latar belakang mahluk-Nya. Tuhan tidak melihat mereka sebagai pemabuk, pembunuh, atau pelacur sekali pun. Tuhan tidak melihat ada yang berbeda dari mahluknya. Mereka diciptakan sama-sama dengan tanah.” Ustaz Agu berdiri, lalu mengajak mereka pulang.

            Malam ditiup angin. Berganti malam dan cerita penyaksian telah berlalu, dan waktu melesat sangat cepat. Beredar rumor bahwa Jo dan Gou tewas. Rumor itu membuat ibu-bapak menjadi gamang. Setiap malam meracau, marah-marah tak jelas, menangis tanpa sebab—membuat anak mereka ikut-ikutan takut. Ssampai seorang pemuda pergi membawa parang tanpa orang tua mereka tahu. Satu persatu pemuda kampung Jode pergi ketika pertigaan malam. Warga menyangka anaknya telah hilang. Atau diculik seseorang..

Saat para ibu-bapak di kampung Jode sibuk melapor-mencari ke sana-sini, datanglah dua pemuda yang sama-sama menyampirkan parang dengan luka di kening, sebuah goresan.

            “Bukankah itu Gou dan Jo?”

            “Apakah kita tidak salah lihat?” warga makin tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

            “Lihatlah luka di keningnya….”

            “Mirip pendekar  saja.” Warga tambah ramai membicarakanya. Dua pemuda itu berjalan tegap—sama ketika mereka keluar kampung. Tatap matanya, dan karisma yang mereka pancarkan.

            Ustaz Agu yang melihat mereka, segera menghampiri.

            “Mengapa warga terlihat sibuk?” Ustaz Agu segera ditodong pertanyaan oleh Jo.

            “Semua pemuda di kampung menghilang. Mereka cemas sesuatu akan terjadi pada mereka.”

04-12-2019


Fahrul Rozi, lahir di Potoan Sampang Madura, saat ini tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya tersiar di media cetak maupun daring.