Oleh : Paisal Anwari
Waras menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sehat jasmani dan rohani. Di sini kita tidak akan membahas kesehatan jasmani. Itu bidang para dokter. Yang akan dibahas adalah kesehatan rohani atau jiwa. Secara sederhana, waras adalah lawan kata dari gila. Gila sering diartikan sebagai ketidakmampuan menangkap realita. Tidak waras artinya kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kenyataan (realita) dan khayalan.
Waras bisa dilihat dari dua sisi. Waras secara moral dan waras secara intelektual atau rasional. Secara moral, orang dikatakan waras bila bisa membedakan mana perilaku yang baik dan mana yang buruk. Ada yang disebut sebagai nilai-nilai universal seperti berbohong, mencuri, dan membunuh itu buruk, sedangkan menolong orang lain itu baik. Sering kita jumpai pembelaan di pengadilan terhadap terdakwa yang membunuh diupayakan dengan mengajukan bukti bahwa dia saat itu terdakwa sedang kehilangan kewarasannya. Namun, kemampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk juga bergantung kepada nilai-nilai yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat di tempat tertentu dan waktu tertentu. Sesuatu yang dianggap baik di tempat tertentu belum tentu dianggap baik di tempat lain dan sebaliknya. Begitu pula waktu yang berbeda bisa mengubah nilai masyarakat.
Di Amerika, dalam sejarahnya, minuman keras pernah dibolehkan, kemudian dilarang, kemudian dibolehkan lagi. Waras secara intelektual artinya bisa membedakan mana yang benar dan mana yang palsu. Ini lebih rumit karena kebenaran ilmiah atau pengetahuan tidak selalu transparan, absolut, dan singular. Karenanya, untuk maksud tulisan ini kita hanya akan berbicara tentang kewarasan rasional yang merupakan bagian dari kewarasan intelektual. Definisi rasional bisa bermacam-macam, namun saya akan mengambil satu definisi untuk maksud tulisan ini.
Pikiran dan tindakan rasional adalah pikiran dan tindakan yang membawa kita lebih dekat kepada tujuan kita. Makin waras seseorang, maka makin rasional pikiran dan perilakunya. Tidak waras seseorang bila dia di Jakarta dan ingin cepat sampai ke Bogor tetapi mengambil jalan lewat Bandung. Kurang waras seseorang bila ingin cepat kaya dia bermalas-malas atau merampok harta orang lain. Ketidakwarasan juga bisa menjangkiti bukan hanya individu, tapi juga kelompok atau masyarakat. Ketika seorang demagog berhasil meyakinkan masyarakatnya seperti di era Nazi Jerman bahwa bangsanya adalah superior di atas bangsa-bangsa lain, maka seluruh masyarakat menjadi tidak waras. Ketika mencuri uang rakyat atau korupsi dianggap wajar, maka sebenarnya masyarakat sedang sakit. Dan saat masyarakat sedang sakit, mereka yang sadar dan menolak ikut serta dianggap tidak beres akalnya.
Seorang pegawai negeri yang jujur dan menolak pungutan liar (pungli) di lingkungan pegawai lain yang korup, dianggap tidak waras. Saat nilai sudah terbalik-balik, maka saat itulah tanda awal mula runtuhnya sebuah peradaban. Yang tidak waras dijuluki normal, yang waras dianggap abnormal. Ironinya, ada kewarasan yang tidak waras. Seorang pemimpin akan dianggap rasional (baca: waras) bila dia secara cerdik menggunakan ketidakwarasan masyarakatnya guna mencapai tujuannya.
Era Pasca Kebenaran
Era masa ini sejak beberapa dekade belakangan disebut sebagai era Pasca Kebenaran. Istilah Pasca Kebenaran (Post Truth) diperkenalkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation ketika menulis tentang perang Teluk dan Iran (1992) dan dipopulerkan oleh penulis Amerika, Ralph Keyes (2004) dalam bukunya, The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. Menurut Keyes, dulu kita hanya kenal benar atau palsu, jujur atau bohong. Sekarang kita memaafkan orang yang menambah fakta dengan bumbu kebohongan. Inilah era ketika fakta dan opini dicampur sehinggga kita tidak tahu lagi mana yang fakta dan mana yang opini. Di era Pasca Kebenaran, batas antara fakta dan fiksi, jujur dan bohong, serta benar dan palsu menjadi kabur.
Peristiwa yang sederhana dan tidak penting dijadikan masalah besar karena dibesar-besarkan. Era internet memperburuk situasi. Kualitas berita dan pesan-pesan diukur dari banyaknya jumlah pengikut dari pembawa pesan. Berita, meskipun tidak benar, menjadi trending ketika diulang-ulang. Fakta yang disodorkan cenderung negatif dan pesimis karena berita buruk dan dramatis lebih menarik banyak peminat. Sering kali tidak ada solusi yang ditawarkan. Bila ada, solusi yang diajukan biasanya utopis dan khayalan. Gelar kesarjanaan, ulama, ustaz, dan gelar-gelar lain menjadi penting guna menguatkan kredibilitas pembawa berita atau pembuat pernyataan. Resume atau riwayat hidup dilebih-lebihkan, bahkan bila perlu diisi dengan gelar kesarjanaan yang palsu. Medali dan piala yang dibeli di toko dipajang di rumah seakan hasil prestasi dia. Rumor dan desas desus dijadikan bahan dasar utama untuk diolah menjadi warta dan kisah yang panjang dan menarik bak sinetron. Teori gotak gatik gatuk dikembangkan menjadi teori konspirasi yang menggambarkan ada hal yang sangat serius di balik sebuah kejadian yang sederhana. Di era Pasca Kebenaran ini kebenaran tidak seluruhnya ditinggalkan tetapi dibedaki dengan kosmetik bikinan sendiri sesuai dengan tujuan dan selera pembawa berita. Makin lama orang makin canggih dan terampil dalam mengolah kebohongan menjadi kebenaran superfisial. Etika menjadi relatif dan dikompromikan. Untuk membenarkan tindakan bohong, bila perlu nilai-nilai yang kita yakini kita sesuaikan dengan maksud kita. Bohong, menyesatkan, dan menipu musuh dan lawan menjadi barang yang halal.
Menjaga Kewarasan
Tidak ada manusia yang sempurna dan seratus persen waras. Setiap orang pada dasarnya ada bakat menjadi tidak waras. Antara manusia satu dengan manusia lain hanya derajat kewarasan atau ketidakwarasannya yang berbeda. Manusia yang satu lebih waras atau lebih tidak waras dari yang lain, dan seterusnya. Bergantung kepada kemauan dan kemampuan kita melawan ketidakwarasan dan memupuk kewarasan. Sebagai Muslim saya percaya hanya ada satu manusia di bumi yang sempurna dan sepenuhnya waras, yakni Nabi terakhir Muhammad SAW yang disebut sebagai insan kamil. Itu pun dalam istilah beberapa ulama disebut sebagai ma’shum yang artinya terjaga dari (membuat) kesalahan. Maksudnya, begitu beliau membuat kesalahan, langsung dikoreksi oleh Yang Maha Benar. Memang tidak mudah menjadi sepenuhnya waras di masa kini ketika berita dan pesan-pesan datang bertubi-tubi, khususnya di era digital seperti kini.
Sering kali sulit bagi kita untuk memilah mana berita dan pesan yang benar dan mana yang palsu. Pesan-pesan palsu biasanya lebih diarahkan untuk membangkitkan emosi daripada intelek kita. Ketika emosi kita lebih menguasai diri kita daripada pikiran rasional, maka kita cenderung menjadi kurang waras dan menjadi korban kepalsuan. Bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran pun tidak lepas dari sasaran kepalsuan. Sering kita lihat pesan tentang obat yang mampu menyembuhkan segala jenis penyakit yang dikemas dengan meyakinkan. Saat emosi kita menginginkan jalan keluar cepat bagi kesembuhan, di situ kita menjadi terjebak dan percaya. Menjaga kewarasan pada era ini memerlukan daya kritis yang jauh lebih tinggi dari era sebelumnya. Kita tidak bisa bergantung hanya kepada sumber yang sangat kita percaya seperti kawan karib kita, karena kawan itu bisa jadi telah menjadi korban kepalsuan juga. Bila ada sedikit keraguan atau ada berita yang mengejutkan, sumber-sumber berita terpercaya pun harus kita baca dengan skeptis dan kita cari sumber-sumber lain sebelum kita ikut menyebarkannya. Seperti patut diduga, yang paling banyak memanfaatkan era Pasca Kebenaran ini kemungkinan benar adalah politisi. Karenanya, pesan dan berita dari politisi harus kita pastikan bukan bagian dari ketidakwarasannya. Atau bagian dari kewarasan politik yang memanfaatkan ketidakwarasan masyarakat.
Politisi tertentu bahkan tidak peduli menyebarkan hoaks, fitnah, pencemaran nama baik, data palsu, dan harapan kosong. Lebih berbahaya lagi ketika kepalsuan dibalut dengan sentimen keagamaan atau ideologi. Agama, khususnya Islam yang saya pahami, menghendaki kita menggunakan akal untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata. Ketika akal hilang dan penganut agama dan ideologi menjadi emosional dan tidak waras, maka kerusakan yang ditimbulkan akan lebih parah dibanding penyebab lain. Manusia memang berbakat untuk mempercayai berbagai hal yang tak masuk akal. Bila tidak, maka ramalan bintang tak akan dibaca dan dukun-dukun peramal tak akan laku. Di Barat, anak sudah mulai dikelabui dengan Father Christmas yang membagi-bagi hadiah sejak kecil. Menjaga kewarasan memerlukan ketabahan dan kesabaran. Tidak mudah terpengaruh oleh yang banyak. Kebenaran justru sering kali berada di tangan yang sedikit. Massa lebih banyak merupakan domba-domba yang digiring oleh penggembala yang memberikan harapan palsu. Kegigihan mempertahankan pandangan kita tanpa harus berkepala batu, tidak mudah terseret oleh arus besar yang menyesatkan, merupakan modal utama memupuk kewarasan kita. Yang juga memprihatinkan adalah terlibatnya sebagian orang-orang cerdik cendekia dalam arus Pasca Kebenaran ini. Penyebabnya karena motif pribadi serta sistem pendidikan yang kian lama kian sempit dalam spesialisasi, sehinga lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita lebih banyak memproduksi tukang dari pada pemikir-pemikir yang andal. Waras berada di atas kecendekiaan. Seorang ilmuwan ahli menjadi berbahaya ketika dia kehilangan wawasan yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan rasa kemanusiaan. (*)