Menurut Anda harusnya bagaimana…
Seperti Soeharto memberi semangat ke Bosnia. Anda boleh tidak suka Soeharto, tapi ini fakta: Dia masuk ke sniper zone di Bosnia tanpa rompi dan topi. Ia memberi spirit ke pejuang Bosnia, dan menunjukkan bahwa dia berada di sisi pejuang. Itu pesan yang kuat”.
Ruangan itu mirip ruang kerja. Sekira 3×6 meter luasnya. Terletak di samping ruang tamu utama. Di situlah Joserizal mengetik, begadang mengerjakan tugas, dan membaca. Tampak buku-buku berserakan di atas karpet: The New Pearl Harbour tulisan David Ray Griffin, Power and Terror buatan Noam Chomsky dan The Age of Turbulence, karya Alan Greenspan. “Tak masalah seperti ini, nanti juga akan rapi lagi,” katanya tersenyum.
Joserisal baru saja menyelesaikan membaca buku Mein Kampf buku karya Adolf Hitler. Tapi ia menekankan dirinya bukan fasis. Ia juga mengagumi buku Madilog karya Tan Malaka. “Tapi saya bukan komunis, jangan menuduh-menuduh begitu,” ujarnya, lantas tertawa. Ia memang tumbuh dalam keluarga yang suka membaca. Ia adalah putra dari Jurnalis Kamil, seorang akademisi yang pernah menjabat Rektor Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat pada periode 1984-1993, sedangkan ibunya, Zahara Idris juga seorang akademisi. “Dulu dibelikan, sekarang beli sendiri di Singapura, Manila atau Dubai,” tuturnya.
Apa impian Anda di masa kecil…
Saya ingin menjadi astronot atau tentara. Tapi pas remaja ingin jadi ahli nuklir. Tapi tidak boleh sama bapak, yang ingin menjadikan saya seorang dokter. Ya sudah, saya ingin jadi Che Guevara saja ha-ha-ha.. Dokter tapi masuk hutan. Sama, saya juga dokter yang masuk ke hutan. Bedanya saya tidak memegang senjata.
Anda mengidolai pemimpin revolusioner Kuba Che Guevara?
Tentu. Dia dokter yang bengek. Sosoknya menarik. Berani melawan pemerintah dan ketidakadilan dengan keluar masuk hutan. Saya salut karena dia berani–seperti bapak saya.
Ayah Anda memimpin revolusi juga…
Tidak ha-ha. Tapi dia pemberani saat menjadi rektor dengan melawan penguasa daerah waktu itu. Bapak sampai dipanggil oleh Menteri Pendidikan, Fuad Hasan, yang diminta oleh penguasa daerah itu memecatnya. Bapak menghadap dengan tertawa. Dan Fuad malah tidak memecatnya karena jadi tahu siapa yang bermasalah. Bapak bilang, menjadi orang elegan dan gentleman itu enak. Dihormati bukan karena kekayaan dan kekuasaan, melainkan karena memang pantas dihormati.
Keberanian itu menurun ke Anda dengan menjadi dokter perang di berbagai daerah konflik…
Keberanian itu didasari dari berhitung dan mempelajari situasi. Kita harus tahu letak lokasi aman di mana, siapa yang berkonflik, siapa tokoh masyarakat dan agama yang bisa dipegang dan netral. Ini penting. Bukan asal jadi dokter perang saja.
Kenapa Anda mengambil spesialis bedah tulang?
Saya terinspirasi ibu yang mengalami kecelakaan hingga patah kakinya. Operasi yang dijalani dia gagal. Dari situ saya tergugah untuk menekuni bedah tulang.
Kegiatan Anda di medan konflik mendapat dukungan keluarga?
Saya sempat ditentang. Orangtua selalu melarang. Begitu pula dengan istri saya ketika tahu hendak berangka ke Maluku. Setelah saya jelaskan niatan saya, mereka akhirnya mengerti.