Oleh : Milanur Almair
Muynes baru tiba ke kota ini 47 menit yang lalu. Namun, di menit ke-36, tiba-tiba saja ia sudah mendapati dirinya dinyatakan sebagai buronan di layar informasi yang dipasang besar-besar di segenap penjuru kota.
Ia sedang berada di stasiun kereta api terdekat dari bandara saat hal itu diumumkan. Muynes kaget mendapati wajahnya yang sedang tersenyum menghadapi petugas bagasi yang berwajah masam, terekam jepretan kamera pengintai yang tersembunyi di sisi utara terminal kedatangan.
Kontan saja, lelaki berwajah Latin itu segera menghindar dari keramaian sambil menutup wajahnya dengan tas. Ia keluar stasiun dan menyetop taksi, membuka pintu dan buru-buru bersembunyi di kursi penumpang.
“Jalan, Pak!”
“Ke mana?” sahut sang sopir tanpa berpaling.
“Ke luar kota!”
“Ke luar kota mana?”
“Kemana saja! Yang penting saya bisa menjauh dari sini,” ucapnya sambil mengamati keadaan di luar taksi sambil merunduk.
“Tapi di sini semua kota, Tuan Muda.” Sopir taksi itu akhirnya mencondongkan badan ke samping kiri agar bisa menatap calon penumpangnya yang tak paham situasi dan lokasi. Tatapannya menyiratkan pertanyaanemang-lo-nggak-googling-dulu?
Muynes spontan memalingkan wajah dan balas memandang dengan mata melotot yang berarti maksud-lo?
“Jalan saja dulu, Pak … BE-GO!”Akhirnya ia memberi perintah sambil mengeja kartu tugas si sopir yang sengaja ditempel di belakang jok samping kemudi.
“Bukan BEGO, tapi BE-JO!” Pak Bejo meralat dengan tegas. Ia kembali mengutuk bapaknya yang telah menyematkan nama itu saat sedang gandrung-gandrungnya belajar alfabet dalam bahasa Inggris.
“Owh, maaf. Pak Be-jo!” jawab Muynes dengan mata kembali merayapi jalanan luar stasiun yang mulai kedatangan beberapa pria berseragam polisi. Fyuuh, hampir saja!
“Baru pertama berkunjung ke sini ya?” tanya lelaki berwajah kotak itu sambil melirik penumpangnya lewat kaca depan. Muynes mengangguk dan menceritakan kejadian yang dialaminya. Cerita lelaki itu membuat sang sopir memencet tombol merah yang menempel pada jam tangannya.
“Tuan tahu, kesalahan apa yang sudah Tuan perbuat?”
Lelaki berhidung bengkok itu menggeleng kuat dengan kening berlipat-lipat.
“Tuan dikejar polisi karena ketahuan tersenyum.”
Mata Muynes terbelalak. Ia mengenyakan tubuh di sandaran kursi dengan tangan masih memeluk erat tas hitamnya.
Yang benar saja! Kalau iya, berarti ini petaka. Tak terhitung sudah berapa kali ia tersenyum sejak pesawatnya mendarat beberapa waktu lalu. Kamera pengintai di bandara entah berapa banyaknya.
Yang paling diingat tentu saja ia tak pernah berhenti tersenyum sejak masih di dalam burung besi. Pramugari yang melayani di penerbangan tadi begitu jelita dan seksi. Seragamnya juga aneh dan lucu. Bermotif batik hanya di bagian dada. Sisanya berbahan transparan.
Begitu pun dengan rok yang dikenakan. Batiknya didesain khusus untuk menutupi bagian bokong dan selangkangan saja. Seksi untuk ukuran ketimuran. Di negaranya itu hal yang biasa.
Pak Bejo (yang tulisannya BEGO) mulai melajukan kendaraan menjauhi stasiun dengan arah memutar.
“Kok bisa ada aturan tersenyum adalah sebuah kejahatan, Pak?”
“Ini aturan baru. Undang-undang ini disahkan oleh wakil rakyat berhaluan prokebebasan bersikap serta antimunafik. Mereka mengganggap sudah saatnya kejujuran dalam berbuat, bertindak dan bertingkah laku dijunjung tinggi. Salah satunya dengan meniadakan senyum ini. Sebab banyak yang membungkus hatinya yang busuk dengan senyum yang dibuat-buat. Akibatnya konflik antarmanusia terjadi. Banyak yang protes dengan aturan ini. Namun ya, begitulah, sia-sia. Manusia berhati busuk lebih banyak populasinya dibanding yang tidak.”
Pria berumur kepala lima itu memberi penjelasan dengan perasaan bangga. Ia merasa kalimatnya terdengar seperti orang pintar saja. Ia ingin menunjukkan bahwa meski namanya tertulis BEGO, tapi ia sejatinya tak bodoh (psst, ini menurut keyakinan dan standarnya sendiri, bukan ditinjau dari kacamata publik). Pak Bejo berbakat jadi politisi. Nasiblah yang memaksanya harus jadi sopir taksi.
“Pantas saja, sejak di dalam pesawat banyak wajah tegang yang saya lihat. Begitu juga saat mendarat. Orang-orang yang hilir mudik tak satu pun tersenyum. Saya pikir mungkin karena lelah. Tapi ….” Muynes terdiam sejenak.
“Tapi apa, Tuan?” tanya Pak Bejo seraya melirik lewat kaca dan mengecilkan matanya.
“Tadi ada kejadian seorang pramugari tersandung roknya sendiri saat hendak menaiki eskalator. Kok tidak ditangkap? Banyak yang tertawa dan tersenyum, kok!”
“Oh, itu senyum yang berbeda, Tuan,” sahut pak sopir sambil membelokkan kemudi ke kiri. Terlihat di plang penunjuk jalan, ia melajukan kendaraan menuju Kota Buronan dan Kota Suka-suka.
“Maksudnya?” Muynes memajukan tubuhnya ke bangku depan. Untuk sesaat tadi ia menyesal memutuskan berkunjung ke kota ini. Namun penjelasan Pak Bejo barusan membuatnya menyimpulkan lain. Kota ini ternyata lucu sekaligus menarik sekali.
“Tuan perlu tahu, senyum itu macam-macam jenisnya. Ada senyum keramahan, senyum persahabatan, senyum ketertarikan, senyum kemenangan, senyum licik, senyum tipu muslihat, senyum sinis, senyum meremehkan, senyum puas melihat kesusahan orang lain, senyum kecewa, dan banyak lagi. Hanya senyum tulus dan berkonotasi positif saja yang diperkarakan.”
Meski terdengar absurd, Muynes tak punya reaksi lain kecuali manggut-manggut. Ia kembali bertanya, “Bagaimana mereka tahu senyum saya adalah senyum bermakna kebaikan?”
“Itulah gunanya CCTV yang ada di tiap sudut ruang publik. Setiap wajah pengunjung direkam dan dipindai oleh perangkat canggih, khusus untuk menganalisa ekspresi mikro yang ditampilkan wajah manusia saat mereka tersenyum. Hasilnya akan keluar dalam waktu setengah jam. Mungkin senyum Anda tadi termasuk senyum yang dilarang.”
Muynes menepuk jidatnya. Kedatangannya di ibukota negara ini memang di luar rencana. Di peta, negeri ini begitu memukau sebab terdiri dari ribuan pulau dan laut yang membentuk satu kesatuan. Ia berniat singgah sehari saja untuk melihat-lihat keadaan dan menyelami suasananya.
“Tuan Muynes mau ke kota mana?”
“Kok Bapak tahu nama saya?”
Sambil menyetir, tangan kiri Pak Bejo (yang tulisannya Bego) mengutak-atik perangkat komputer mini di sisi kiri. Layar LCD di belakang kursinya menyala. Nampak foto Muynes yang tersenyum terpampang di situ, lengkap dengan riwayat hidup, detail pekerjaan, silsilah keluarga berikut asal negaranya. Bahkan foto deretan mantan pacarnya pun tercantum di sana.
Muynes menepuk jidatnya berkali-kali. Sial benar! Mereka tidak tahu gara-gara kenangan semua mantan itulah yang membuatnya melarikan diri hingga ke negeri tanpa senyum ini.
“Terus, menurut Bapak saya harus kemana? Kalau saya sampai tertangkap, ini akan menjadi pengalaman paling sinting dalam hidup saya. Dihukum karena tersenyum. Nama baik ayah saya juga bakal tercemar.”
Muynes mulai membayangkan berita utama yang terbit besok bertuliskan namanya dan nama sang ayah di media-media internasional. Lelaki berambut ikal ini memejamkan mata mengusir khayalan buruk di kepalanya.
“Tenang. Saya dulu juga pernah mengalami hal yang sama seperti Anda. Buktinya saya tak dihukum. Sekarang bisa jadi sopir taksi stasiun.”
“Oh ya? Kok bisa?”
“Hm, ceritanya panjang.”
“Trus, saya harus bagaimana sekarang?”
Pak Sopir nampak berpikir sejenak, lalu berkata, “Begini. Saya akan membawa Tuan ke Kota Buronan. Di sana banyak orang yang bernasib seperti Tuan, yakni jadi buronan yang bahagia.”
“Apa?! Kota Buronan? Kalau polisi mencari ke sana, saya bakal tertangkap dong, Pak?”
“Tenang. Kota Buronan merupakan daerah istimewa. Ia memiliki aturan yang sangat dicintai oleh semua warganya, yakni tak ada ekstradisi internal bagi warga yang sudah masuk serta menetap di kota tersebut selama ia mentaati aturan yang ada.”
Muynes terdiam lama. Menimbang-nimbang.
“Bagaimana? Tuan Muda mau? Kalau tidak, di pertigaan depan saya akan belok kanan menuju kota yang lain.”
Tak punya pilihan lain, Muynes akhirnya mengiyakan saran sopir. Ia kalut, belum bisa berpikir jernih. Semoga di Kota Buronan ini, ia bisa menyepi sebentar dan menyusun rencana selanjutnya.
“Jangan khawatir, Tuan. Kota Buronan ini tak seseram namanya kok. Di sana banyak figur publik dan konglomerat yang menetap. Maklumlah, orang yang hidupnya senang itu tentu banyak tersenyum. Beda dengan mereka yang melarat. Jangankan tertawa, senyumpun jarang. Sekalinya tersenyum, senyumnya pahit dan kelat. Senyum tak punya uang.” Pak Bejo yang mengetahui kekalutan hati Muynes berusaha menghibur.
“Mm, apakah di kota ini juga dilarang tersenyum, Pak?”
“Tentu saja, Tuan. Tapi, psst …, ” Pak Bejo mulai bicara agak berbisik,”karena seluruh penghuninya sebagian besar adalah orang-orang kaya yang selalu tersenyum, hak untuk tersenyum bisa dibeli di sini. Tapi, tentu saja dengan harga yang tak murah.”
“Hak untuk tersenyum?” Hati Muynes tergelitik mendengarnya.
“Ya, di sini para warganya membayar aparat dengan sejumlah uang agar bisa bebas tersenyum dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan. Misalnya Tuan membayar lima juta untuk tersenyum selama 10 hari. Kalau lewat dari itu, ya Tuan tetap dilarang tersenyum.”
Sekarang Muynes menepuk puncak kepalanya berkali-kali dalam waktu lama.
“Tapi kata ibu saya, saya orang yang selalu tersenyum, Pak. Itulah sebabnya nama saya Muynes.”
“Withmoney everything is allowed. Include smiling. It is not prohibited!” jawab lelaki gemuk itu kalem sambil membayangkan ia jadi pembaca berita CNN.
Muynes berpikir lagi. Benarlah ucapan Pak Bejo (yang tulisannya Bego). Salah satu yang membuatnya selalu tersenyum adalah ia tak pernah mengalami kesusahan hidup. Orang tuanya kaya raya. Sebagai pewaris tunggalseorang konglomerat yang bergerak di bidang properti, ia tak punya alasan untuk tak tersenyum.
Hanya satu hal yang membuatnya tak bahagia, yakni kenangan perempuan-perempuan yang sangat ia cintai namun ternyata hanya mengejar uangnya saja! Sialan!
“Baiklah. Saya bayar saja.”
“Bagus kalau begitu. Anda membuat hidup ini jadi lebih mudah,” timpal Pak Bejo dengan salah satu sudut bibir ditarik tipis.
Sepanjang jalan Muynes melihat banyak plang dengan gambar bibir tersenyum disilang. Manusia-manusia yang ia lewati juga lebih banyak yang menggunakan masker. Mungkin itu trik agar senyum mereka tak terdeteksi CCTV, pikir Muynes.
Tak lama kemudian, taksi memasuki gerbang kota yang dituju. Pak Bejo menyuruh Muynes keluar dan menghadapkan wajahnya pada kamera di sisi kiri gerbang. Kilatan lampu blitz menerpa wajah tampan lelaki 26 tahun tersebut.
Beberapa saat setelahnya, sebuah kartu muncul dari lubang yang berada di bawah kamera. Berisi identitas pribadi Muynes dengan logo Kota Buronan di sisi atas kanan. Bentuknya mirip dengan patung di atas gerbang, yakni berupa manusia tak berbibir.
Pak Bejo ikut keluar dan berjalan ke arah kanan gerbang. Tak ada penjaga di sana. Hanya ada sebuah mesin ATM berwarna oranye.
“Tuan, sini!” serunya ke arah Muynes.
Ragu lelaki bercambang tipis itu mendekat.
“Coba masukkan kartunya di sini untuk verifikasi. Nanti akan ada sandi rahasia. Apakah Tuan termasuk warga yang hendak mendaftar ingin hidup bebas tersenyum sementara atau tidak.”
Meski ingin tertawa, Muynes tetap mengikuti instruksi lelaki berkulit sawo matang di sebelahnya. Tak lama kemudian muncul perintah mentransfer sejumlah uang di layar. Tanpa pikir panjang, Muynes memutuskan untuk membayar fasilitas hidup normal penuh senyuman dalam sebulan.
Transaksi selesai. Pintu gerbang terbuka setelah Muynes memasukkan kata sandi yang diperoleh sesaat setelah transaksi tadi. Ia berterima kasih pada Pak Bejo dan ajaibnya lelaki tersebut membalasnya dengan tersenyum lebar. Tanpa cemas ataupun takut.
Muynes terkesima dan ingin menanyakan hal itu. Maksudnya, senyum itu bermakna apa. Sayang, pintu gerbang segera tertutup otomatis, membuat Muynes hanya bisa termangu dan garuk-garuk kepala.
Setelah pintu gerbang tertutup sempurna, Pak Bejo (yang tulisannya Bego dan ia selalu mengutuk bapaknya karena hal ini) segera memasuki taksinya dan melajukan kendaraan menuju Kota Suka-suka. Layar monitor di samping kemudi berkedip dan menyala. Di sana tertulis sederet kalimat yang membuat ia tertawa bahagia.
“Reward dari Kota Buronan telah masuk 10 juta poin. Anda bebas memasuki Kota Suka-suka selama setahun.” (fin)
Cikarang Pusat, 2018
Milanur Almair, adalah anggota FLP Bekasi, asal Sambas, Kal-Bar. Aktif di Komunitas Bisa Menulis (KBM) dan Kampus Fiksi. Pecinta fiksi yang mengisi waktu luangnya dengan menjahit. Sekarang tinggal di Cikarang, Kabupaten Bekasi.