Oleh : Kak Ian
“Baiklah akan aku dengarkan perkara tentang hati. Mulailah ceritakan kepadaku. Terserah kamu memulainya darimana?” ujar Alina pada Pendongeng yang selalu ia lihat di areal Taman Ismal Marzuki.
Saat itu areal tempat para pekerja seni—begitu mereka menganggap dirinya—yang selalu berkumpul kala senja akan memudar menuju kaki langit. Mereka sudah ada di sana. Sudah mempersiapkan apa saja yang akan mereka bicarakan. Halnya Pendongeng yang saat ini ada di hadapan Alina.
Akhirnya Pendongeng itu pun mulai bercerita saat Alina mengajukan pertanyaan pada lelaki paruh baya itu. Dan meluncurlah sebuah dongeng dari mulut hitamnya. Mungkin hitam karena dari sisa-sisa nikotin yang mengendap di sana, keseringan merokok bersama teman-teman senimannya itu. Kopi. Rokok. Kacang. Soft drink. Mungkin sudah menjadi teman setiamya.
Inilah dongeng yang Pendongeng renta itu kisahkan pada Alina…!
Konon sebelum boneka-boneka itu menyerbu kota, menghiasi etalase-etalase toko boneka di sepanjang pusat permainan anak, dulu benda lucu dan menggemaskan itu adalah peneman para Putri Raja bila sedang di mabuk asmara pada seorang Pangeran. Boneka-boneka itulah yang dijadikan alat sebagai luapan curhatan para Putri Raja terlebih bila rindu itu tidak tersampaikan dan—sedang meletup-letupnya.
Namun waktu terus berjalan, lama-kelamaan karena boneka-boneka itu sering dijadikan lampiasan curhatan para Putri Raja masa itu. Entah, mendengarkan resah dan gulana para Putri Raja yang lama tidak bersua pada Sang Pangeran atau kekhawatirannya bila Sang Pangeran itu bermain hati atau pindah ke lain hati. Boneka-boneka itu akhirnya tidak ubahnya bak seperti manusia. Seperti tuannya bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan.
“Apakah kamu percaya dengan kesetiaan, Tuan Putri? Apalagi bila sudah bicara seorang Pangeran yang selalu tiap kala sering menemui putri-putri kerajaan bila mana ia sedang mengemban tugas dari Raja untuk mendatangi semua kerajaan ke penjuru negeri. Apakah kamu masih mempercayainya itu seorang Pangeran hanya setia pada satu Putri Raja?” akhirnya salah satu dari boneka itu—yang selalu menenami Putri Raja bernama Putri Elota itu pun ikut merundingkan tentang kesetiaan.
“Aku yakin! Pangeranku ini setia. Contohnya belum lama ini dia mengabariku kabar lewat surat yang dibawa oleh elang peliharaannya. Katanya satu purnama lagi ia akan meminang lalu kemudian akan menikahku,” ucap Putri Elota pada boneka kesayangannya yang ia beri nama Zeza.
Saat Zeza, boneka kesayangannya itu bisa bicara seperti dirinya. Putri Elota hampir tidak menguasai diri. hampir terbakar cemburu sekaligus termakan ucapan boneka kesayangannya itu. Zeza semakin mengikutcampuri urusan percintaan tuannya itu.
“Putri Elota jangan percaya pada omongan Zeza! Aku tahu siapa tuanku itu? Sebelum diberikan padamu lebih lama aku bersama Pangeran Agorga. Kamu jangan memfitnah tuanku, Zeza,” Putri Elota terkejut saat boneka pemberian Pangeran Agorga, kekasihnya itu ternyata ikut bicara seperti dirinya.
“Apakah Putri Elota mempercayai boneka-boneka itu?” potong Alina saat Pendongeng itu mau menyambungkan ceritanya kembali.
“Iya, sabar! Ini lagi akan aku lanjutkan!” tukas Pendongeng itu agak kesal pada Alina.
Dan Pendongeng itu pun menyambungi ceritanya kembali…
Putri Elota hampir tidak mempercayainya. Benda lucu dan menggemaskan pemberian Pangeran Agorga ternyata bisa angkat bicara. Entah, Putri Elota harus mempercayai siapa di antara kedua boneka yang selama ini menjadi peneman dirinya saat kejenuhan merajai tubuhnya itu. Ia diliput kebimbangan.
Putri Elota diam sejenak. Ia meredam batinnya agar tidak mengikuti ucapan-ucapan boneka-boneka itu—yang sudah sangat mengikuti jejak urusan percintaannya. Akhirnya ia pun mengambil sikap.
“Aku tidak akan mempercayai ucapan kalian semua! Aku akan membuktikannya sendiri. Sebagai saksi apakah Pangeran Agorga tidak setia denganku. Aku akan membawa kalian berdua untuk ikut menyaksikan bila nanti ada sesuatu yang terjadi,” Putri Elota menegaskan.
Kedua boneka itu saling adu pandang. Di antara mereka ternyata ada salah satu yang ketakutan. Zeza, boneka itu terlihat sangat ketakutan sekali.
Alina yang mendengarkan pendongeng itu begitu sangat menjiwai ia benar-benar makin penasaran. Ia dengan gegas bertanya kembali.
“Apakah Putri Elota akan membuktikannya jika Pangeran Agorga itu pindah ke lain hati pada Putri Raja-raja yang lainnya?” tanya Alina begitu penasaran.
“Tunggulah! Sabar ini lagi akan aku lanjutkan!” seru Pendongeng itu.
Akhirnya sesuai keinginan untuk membuktikan apakah Pangeran Agorga itu setia dan tidak berpindah ke lain hati. Putri Elota pun menyamar dirinya sebagai seorang Pendongeng Istana. Ia membawa Zeza dan Deza, nama boneka pemberian Pangeran Agorga.
Dan kebetulan hari itu adalah hari perayaan Kerajaan Rahuki. Di mana semua pangeran seluruh penjuru negeri diundang. Salah satunya Pangeran Agorga ada di sana.
Kini Pangeran Agorga sedang duduk bersanding bersama putri Raja Rahuki. Putri Elota melihat itu dari atas panggung sebelum penampilannya sebagai Pendongeng Istana benar-benar sangat terpukul ternyata Pangeran Agorga sudah berpindah ke lain hati.
Melihat keadaan itu, seusai penampilannya di atas panggung Putri Elota bersama Zeza dan Deza makin tidak menentu terlebih mata lentiknya terus mengarah pada Pangeran Agorga dan putri Raja Rahuki. Ia makin remuk hatinya.
Usai itu Putri Elota dengan gegas turun dari panggung lalu menjauhi Kerajaan Rahuki. Karena ia tidak kuat untuk menerima kekecewaan yang begitu mendalam. Ia pun pergi ke Taman Yugze. Di mana taman khusus tempat orang-orang patah hati dan terlukai semacam dirinya. Lalu ia mengeluarkan Zeza dan Deza dari kopernya.
“Maafkan aku lebih baik kalian menjadi boneka tanpa hati saja. Dengan harapan kalian tidak seperti aku yang menanggung kekecewaan dan dipenuhi kelukaan,” ucap Putri Elota pada Zeza dan Deza.
Setelah itu Putri Elota mengambil pisau apel lalu menghujam jantung Zeza dan Deza dengan tatapan iba. Kemudian jantung mereka itu Putri Elota berikan pada burung-burung yang sedang kelaparan di taman itu.
Puas Putri Elota melakukan itu. Ia pun kembali ke kerajaan. Tidak lupa ia membawa Zeza dan Deza dalam keadaan tidak berdaya. Mungkin tidak bernyawa lagi.
“Lalu apakah boneka-boneka itu masih menemani Putri Elota? Terus masihkan bernyawa seperti tuannya itu?” tanya Alina pada pendongeng itu.
Pendongeng itu hanya tersenyum sinis pada Alina. Karena apa yang ditanyakan Alina sudah bukan urusannya lagi untuk menuntaskan ceritanya.
“Kamu pikir boneka-boneka yang aku mainkan selama ini sejak tadi apakah ia bisa bicara denganku? Bukankah kamu sering melihat aku memainkannya selama ini di tempat ini!” tukas Pendongeng itu ketus.
“Oya, aku hanya memberitahukan kepadamu saja! Jangan terlalu percaya dengan kesetiaan seseorang. Jika itu sudah kamu dewakan. Lebih baik seperti dirikku saja bersama boneka-boneka yang aku bawa ini. Mereka tanpa hati tapi bisa setia denganku,” dengan gontai Pendongeng itu meninggalkan Alina.
Alina tercekat. Terdiam sejenak. Dikarenakan ponselnya menerima pesan WhatsApp dari rekan kerjanya. Ia pun lekas membacanya.
“Tadi aku melihat Bill bersama Raisa. Mereka masuk ke dalam hotel bersama.”
Ponsel pun seketika itu terlepas dari genggaman Alina. Tinggallah terdengar samar-samar suara dari balik ponsel itu terus memanggi-manggil nama Alina.[]
Kak Ian, penulis dan aktivis anak. Aktif di Komunitas Pembatas Buku Jakarta (KPBJ). Karya-karyanya berupa Cerita Anak, Cerita Remaja, dan Cerpen serta Puisi telah dimuat di berbagai surat kabar lokal dan nasional serta online salah satunya dimuat di Kompas Minggu, Suara Merdeka, Solo Pos, Padang Ekspres, DenPost, Pontianak Pos, Malang Post, Singgalang, Haluan, UMMI, Adzkia, Radar Surabaya, Minggu Pagi, Joglo Semar, Analisa Medan, Fajar, Riau Pos, Apajake.id, Go Girl Magazine, Warta Simalaba, Nusantara News.com, Riau realita.com dll. Penulis yang sedang menggandrungi fiksi anak dan menjadi pendongeng ini sudah memiliki buku solo maupun antalogi.